[April 4th] Close, Closer

39c0c7d84b60b87e099d93c863eef841

==============================

Menahan diri adalah salah satu keahlian seorang Lee Hyukjae.

Hyukjae menggigit bibir bawahnya sebelum mendengar lawan bicaranya mengakhiri percakapan mereka. Suara di ujung telepon sudah digantikan oleh nada yang monoton. Ia tak sempat mengatakan apa pun. Lagi-lagi, selalu begitu. Bibirnya terasa kelu akibat menahan sesuatu yang sudah berada di pangkal tenggorokan. Ia meletakkan kembali gagang telepon berwarna hitam ke tempatnya.

Kedua matanya kemudian tertuju pada kalender dinding di sudut ruangan. Angka 3 tercetak jelas dengan tinta hitam. Hyukjae mengembuskan napas berat. Esok masih menjadi hari yang istimewa untuknya –mungkin rasa istimewa itu agak berkurang saat usianya mencapai 20 tahun, tapi selalu ada yang membuatnya menanti tanggal 4 April setiap tahun.

Isi kepalanya kembali berkelana, memikirkan banyak hal hingga menggambar rupa orang-orang di sekitarnya. Wajah terakhir yang berhasil digambar jelas oleh otaknya adalah wajah gadis itu. Semakin jelas wujudnya, Hyukjae semakin bisa mendengar suara gadis itu bergema dalam kepalanya.

Suara itu sebening lonceng, seolah salah satu ujung gagang telepon masih menempel di telinga kanan Hyukjae, seolah gadis itu masih berada di ujung telepon dan bicara padanya, seolah Hyukjae dan gadis itu berada sangat dekat.

Tapi ia memang tak pernah merasa jauh dengan gadis itu –mungkin sedikit jauh karena jarak, tapi bukankah apa yang ada di dalam hati yang dihitung? Ia tidak akan membiarkan gadis itu menyudahi obrolan mereka lebih dulu. Ada begitu banyak hal yang bisa Hyukjae ucapkan padanya. Terlalu banyak, hingga rasanya dadanya akan meledak.

Hyukjae membiarkan ujung bibirnya membentuk seulas senyuman kecil.

Esok adalah hari yang istimewa, akan menjadi hari yang bagus untuk menggunakan hak veto pada gadis itu. Gadis itu tak boleh lagi menutup telepon lebih dulu tanpa mendengar ucapannya. Esok atau tidak sama sekali, batin Hyukjae.

Jika esok masih menjadi hari yang istimewa bagi Hyukjae, akankah hal itu juga berlaku untuk Choi Jiyoo?

Melepaskan napas dengan berat bukan hobi seorang Choi Jiyoo.

Jiyoo mengamati layar ponselnya yang hitam dan terkunci. Selalu ada perasaan berat setelah ia memutus sambungan dengan lawan bicaranya barusan. Mungkin karena dirinyalah yang selalu menutup telepon lebih dulu. Selalu seperti itu. Jiyoo seakan sudah hapal dengan semua tandanya; hening agak panjang. Dan Jiyoo harus memutuskan sambungan.

Mungkin sebenarnya ia tak ingin melakukannya, menutup telepon saat jelas-jelas lawan bicaranya memendam sesuatu. Jiyoo tahu ia seharusnya membiarkan lawan bicaranya mengungkapkan apa pun yang mengganjalnya. Ia tahu, dan ia terlalu pengecut untuk sekedar mendengarkan. Karena apa pun yang ingin diucapkan oleh lawan bicaranya akan membuat Jiyoo merana.

Choi Jiyoo adalah seorang gadis yang egois, pengecut dan jahat, karena membiarkan lawan bicaranya menelan bulat-bulat sesuatu yang bercokol di ujung tenggorokannya.

Jemarinya mengusap layar ponsel, membiarkan layar ponselnya menunjukkan waktu dan tanggal hari ini. Pukul 13:18. Waktu istirahatnya sudah selesai sejak 18 menit yang lalu. Jiyoo menatap lekat-lekat layar ponselnya. Perhatiannya tak tertuju pada penunjuk waktu, melainkan pada tulisan Seoul, April 3rd.

Jiyoo merasakan ujung-ujung jemari tangannya tergelitik. Jantungnya berdegup dalam irama yang lebih cepat, seolah ia tak sabar akan sesuatu yang segera datang. Ia sangat mengenal perasaan ini; perasaan yang memberinya antusiasme dan harapan tinggi.  Ia menantikan esok, hari ulang tahun Lee Hyukjae.

Tadinya ia pikir perasaan itu akan semakin pudar dengan berjalannya waktu. Ia kira dirinya akan terbiasa dengan segala perasaan itu dan kemudian rasa bosan akan menenggelamkannya. Bosan tak pernah menyerangnya. Setiap tahun di hari itu, Jiyoo justru disambut oleh rasa akrab.

Seperti saat ini, saat tanggal 4 April sudah di depan mata, Jiyoo tetap merasa ada gelitikan aneh dalam tubuhnya. Ia berdebar-debar menanti hari esok, namun ia juga gugup setengah mati. Jika ada yang berbeda, itu adalah tempat Hyukjae berada sekarang; dan kemungkinan Jiyoo tak bisa merayakan 4 April bersama lelaki itu.

Sisanya, seperti 4 April tahun-tahun sebelumnya, Jiyoo bersemangat menyambut hari Lee Hyukjae.

Choi Jiyoo menghela napas panjang. Mungkin, pikirnya, kali ini aku harus membiarkannya menyelesaikan… kalimatnya.

Monday. April 4th, 2016.

“Di sini hujan,” ujar Jiyoo singkat.

Telapak tangannya menghadap ke langit, membiarkan tetes-tetes air menyentuh kulitnya. Ia merasakan dingin menggigit lengannya yang telanjang. Hujan di musim semi berada pada daftar hal kesukaannya. Bukan peringat teratas, mengingat selalu ada rasa dingin sisa-sisa musim dingin yang mengikuti.

Jiyoo sudah menutup pintu balkon dan kembali ke ruang makan saat suara di ujung sambungan menyahut, “Di sini juga.” Jiyoo bersumpah ia nyaris bisa melihat Hyukjae tersenyum padanya, merasa senang karena mereka dihubungkan oleh langit yang sama. “Kau pasti sedang tersenyum.”

“Apa? Tidak!” sergah Jiyoo. Ia tersentak saat Hyukjae justru lebih dulu menyuarakan pikirannya. “Darimana kau mendapat gagasan menggelikan itu?”

Kali ini Hyukjae tertawa. Jenis tawa yang renyah, dan jelas menduduki peringkat teratas di daftar hal kesukaan Jiyoo. Mungkin karena Hyukjae sendiri sudah menjadi orang kesukaannya, selain orang tuanya, dalam daftar orang-orang kesukaan Jiyoo. Jadi semua yang dilakukan Lee Hyukjae otomatis menjadi hal kesukaannya.

“Kukira kau akan berpikir, ‘Ah, romantis sekali. Kita dihubungkan oleh hujan’, yah semacam itulah,” ujar Hyukjae. Sebelum Jiyoo sempat mengelak, ia menambahkan, “Tidak ada ruginya juga kalau kau mengaku. Akan kusimpan rahasiamu soal hal ini.”

Jiyoo tertawa, setengah geli dan takjub dengan segala daya imajinasi lelaki di ujung telepon. “Mungkin seharusnya, ‘Tidak ada ruginya juga kalau kau sedikit berbohong dan menyenangkanku di sini’, kan?”

“Hm, yah… itu juga boleh,” sahutnya. Keduanya tertawa lepas. Kemudian tak ada yang terdengar. Hanya ada jeda yang panjang dan hening menggantung masing-masing di tempat keduanya berada.

Jiyoo tak pernah suka dengan keheningan ini. Ia selalu merasa Hyukjae ingin mengatakan sesuatu di ujung telepon, tapi ia sendiri tak akan sanggup mendengarnya. Bibirnya sudah terangkat untuk mengatakan sesuatu, namun suara Hyukjae menghentikannya.

“Tidak, jangan tutup teleponmu.”

Jemari Jiyoo memelintir ujung rambutnya, memainkannya semata-mata karena ia merasa harus melakukan sesuatu. Apa saja. Apa pun untuk menahan diri agar tidak melakukan hal konyol, seperti menangis. Hyukjae tidak menganggap menangis adalah hal yang konyol –Jiyoo iya, apalagi di saat seperti ini. Menangis adalah hal terakhir yang diinginkan Jiyoo di hari ulang tahun Hyukjae.

“Katakan sesuatu,” ujar Hyukjae pada akhirnya. “Ceritakan apa saja padaku.”

Jantung Jiyoo berdebar kencang, seperti kepakan sayap burung yang tidak berirama. Mengagumkan, sebenarnya, bagaimana seseorang bisa membuatmu tetap merasakan debaran yang sama bertahun-tahun hanya dengan mendengar suaranya. Jiyoo sudah berhenti memainkan ujung rambutnya. Pandangannya terarah lurus ke jendela kaca yang menunjukkan langit cerah yang menangis.

“Kalau kau tetap diam,” katanya. Hyukjae ingat ada begitu banyak hal yang ingin diceritakannya pada Jiyoo. “Aku saja yang–“

I miss you,” potong Jiyoo dalam bahasa Inggris. Gadis itu kemudian berdeham pelan dan mengulangi ucapannya, “Aku merindukanmu.”

Hyukjae tertegun. Ia membatu ketika Jiyoo mengucapkan kalimat dalam bahasa Inggris dan baru tersadar kembali saat gadis itu berdeham. Choi Jiyoo salah tingkah. Hyukjae menundukkan kepala dan tersenyum kecil. Pada kalimat kedua, Hyukjae sudah nyaris meninggalkan semuanya dan berlari menuju gadis itu.

Bagi sebagian orang, meninggalkan segalanya demi bisa menemui seseorang merupakan sesuatu yang klise sekaligus berlebihan. Tidak mungkin ada orang yang sanggup melakukannya; meninggalkan kewajiban penting dan berlari demi seorang gadis hanya karena satu kalimat sederhana.

Tapi, bagi Hyukjae, tak ada yang sederhana dalam hubungannya dan Jiyoo.

Semuanya sama penting dan berarti baginya. Bahkan segala sesuatu yang dianggap orang lain sederhana justru selalu istimewa untuk Hyukjae. Jiyoo tak pernah mengucapkannya, tapi Hyukjae tahu gadis itu merasakan hal yang sama.

“Terima kasih,” adalah hal yang bisa dikatakannya sebagai jawaban.

“Kau tidak merindukanku,” adalah tuduhan tanpa belas kasihan dari gadis di ujung telepon.

Hyukjae menahan tawa dengan susah payah. “Kalau kau belum tahu, ’Aku merindukanmu’ adalah kalimat yang selalu ingin kuucapkan setiap kita berhubungan lewat telepon.”

“Aku tahu.”

“Kau hanya tidak membiarkanku mengucapkannya.”

Entah bagaimana, Hyukjae bisa melihat Jiyoo menganggukkan kepala. Sangat lemah, sangat pasrah. Seolah gadis itu baru saja mengakui kesalahan yang konyol tapi sangat penting untuk harga dirinya. Hyukjae tak pernah berhenti keheranan dengan seberapa miripnya mereka, namun juga berbeda di saat yang sama.

“Terima kasih sudah mengucapkannya lebih dulu dan tidak menutup telepon kali ini,” ujar Hyukjae ringan. Beban di dadanya seolah terangkat, hilang dan digantikan oleh perasaan aneh yang menghangatkan tubuhnya. Ia kemudian tertawa, “Terima kasih juga sudah membuatku lupa.”

“Lupa?” Kali ini Hyukjae melihat Jiyoo dengan salah satu alis terangkat sambil menatapnya.

“Hm. Lupa untuk menceritakan banyak hal padamu.” Hyukjae tersenyum pada dirinya sendiri. “Ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu. Terlalu banyak, sampai rasanya semua kalimat yang sudah kususun di kepalaku saling mengacau hingga tak bisa keluar dengan susunan yang benar.”

“Itulah kenapa kau selalu mendadak diam di tengah-tengah sambungan telepon,” Jiyoo terkekeh pelan. Ia terdengar sedang menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku juga seperti itu. Mungkin lain kali aku harus membuat catatan kecil tiap ada sesuatu yang menarik untuk diceritakan.”

Hati Hyukjae seolah mengecil, dipenuhi oleh rasa bersalah. Biasanya ia selalu ada saat Jiyoo mengeluh, mengomel tentang banyak hal yang dihadapinya. Jiyoo selalu melibatkan dirinya di tiap halaman hidupnya. Bayangan sosok Jiyoo yang harus lebih banyak menahan diri karena gadis itu kemungkinan tak ingin membebani Hyukjae membuat hatinya menjerit.

“Kau diam lagi,” ujar Jiyoo. “Apa yang kaupikirkan?”

“Jangan.”

“Jangan… apa? Baiklah, aku janji tidak akan cerewet dan membicarakan kekesalanku pada teman-temanku padamu.” Gadis itu tertawa renyah. Suara tawanya, bagi Hyukjae, terasa menyenangkan.

Hyukjae memejamkan mata sejenak dan berkata, “Jangan hanya menceritakan hal yang menarik padaku. Sesuatu yang tidak kau sukai, yang tidak penting, bahkan yang menurutmu membosankan sekalipun. Ceritakan semuanya padaku. Aku ingin mendengarnya.”

Kali ini Jiyoo yang terdiam. Sekali lagi keheningan menggelayuti keduanya. Hyukjae merasakan desakan yang luar biasa dari dadanya untuk menangis. Mungkin ia memang harus membiarkan dirinya meledak sebentar sebelum kembali menjadi Lee Hyukjae. Menjadi Lee Hyukjae yang biasanya untuk Choi Jiyoo.

Seolah mengerti dengan keadaannya di ujung sambungan, Jiyoo mengucapkan kalimat yang seolah sakral bagi keduanya selama 6 bulan ini. “Ah, aku benar-benar merindukanmu.”

Suara Jiyoo terdengar getir, bercampur dengan sedikit isakan kecil. Hyukjae menahan diri walaupun ada kolam air mata yang terbentuk di kedua matanya. “Kau mendahuluiku lagi.”

“Apa boleh buat, kan,” ujar Jiyoo. Suaranya bergetar, ia benar-benar sedang menangis. Hyukjae tersenyum sendu.

Lee Hyukjae adalah seorang lelaki yang egois, pengecut dan jahat, karena membiarkan lawan bicaranya mengucapkan sesuatu yang seharusnya diucapkannya lebih dulu.

Hyukjae-lah yang harusnya melakukan itu; mengucapkan kalimat menyakitkan yang akan membuatnya merana. Namun, bukannya melakukan apa yang sudah Jiyoo lakukan hari ini, ia justru selalu menelan kalimat itu bulat-bulat, membuatnya terus-menerus sekedar bercokol di ujung bibirnya tanpa benar-benar terucapkan.

Padahal Jiyoo memiliki hak untuk mendengarnya. Padahal ia ingin gadis itu mendengarnya kali ini. Padahal ini adalah hari istimewanya…

“Selamat ulang tahun, Lee Hyukjae,” suara Jiyoo lebih terdengar seperti bisikan. Tatapan Hyukjae menerawang, menerka-nerka perasaan Jiyoo hari ini. Sekali lagi ia tak pernah bisa berhenti takjub pada ikatannya dengan Jiyoo. “Aku merindukanmu lebih banyak daripada hari-hari lainnya. Jadi, jangan berkecil hati! Kau bisa mengucapkannya lain kali saat kita mungkin…”

“Bertemu,” sambung Hyukjae. “Dan iya, aku akan mengucapkannya saat itu.”

“Ya… tentu saja,” sahut Jiyoo. Hyukjae menggigit bibir bawahnya, menebak apakah gadis itu juga sedang melakukan hal yang sama. Kemungkinan iya. “Selamat ulang tahun sekali lagi, Lee Hyukjae.”

Hyukjae tersenyum simpul. Tak ada Choi Jiyoo di depannya, tapi ia tak pernah merasa sedekat ini dengan gadis itu. Dekat, dan semakin dekat saat ia berhasil menggambar sosok gadis itu dalam kepalanya.

“Terima kasih, Yoo.”

===========THE END===========

HAPPY BIRTHDAY, DEAR LEE HYUKJAE!! We’re in the different place, but it’s the same sky we have… we’re too different yet still same (for me). I miss you more than I could imagine today, so it hurts (a bit) when I was writing this.

Thank you… for being born, for breathing, for living happily. If anything, thank you for being you, the precious Lee Hyukjae. You’re probably the person I cherish most (after my family & friends) and somehow you’re still special for me. Til today, the April 4th is not just an ordinary day. It’s the day I want to fill with a lot of good things. Because its your day, and its special.

HAPPY BIRTHDAY~!

-She-

p.s: I should’ve made it longer, but i don’t have so much time /.\ I miss writing!!

14 thoughts on “[April 4th] Close, Closer

  1. I miss your writting authornim.
    i miss you too Lee Hyukjae… and Happy Birthday Mr Lee.. 🙂
    Wah, sudah lama sekali aku tidak baca tulisan eonnie, still good as before.

  2. Ceritanya keren banget… ❤👍
    Masih saling memahami walaupun dibatasi jarak.
    Sweet banget…

    l love it😘😘

  3. Aku tau pasti bakal ada publish di wp ini, dan felling bener* tepat!😂

    Thanks ya bacaan singkatnya, ini awesome banget buat selingan otak pas un gini , itung” obat kangen sama hyuk😂🔫

    Rly sweeeeeeet!😚😘👏

    Keep writing!

    • Hihihi.. tadinya gak bakal nulis sampe kira2 jam 7 malem tanggal 3-nya. I was like, nope i dont think it’ll be a good idea (by writing i mean), tapi akhirnya i feel good when ive done writing. :’)

      Suksyeeeess UN-nyah!! Thanks for reading~! ^^

  4. Dan bersyukur lah Lee Hyukjae… Walaupun 6 bulan di telan oleh baju Corak kegagahanya dalam lingkup yg serba terbatas mungkin.. Yg di luar tetap setia

Leave a comment