Blending [1 of 2]

images (4)

You said, “Don’t go, don’t stay either…”

You don’t hate me, you love me. You really do.

But if you were me, what’d you do?

Will you stay, or will you go instead?

Pernikahan. Perpaduan dua keluarga besar menjadi satu. Choi Jiyoo memikirkan banyak cara yang mungkin dapat ia gunakan untuk melakukan perpaduan itu. Selama empat tahun, ia terus membayangkan usaha yang tepat untuk menggabungkan keluarganya dan keluarga Lee Hyukjae. Ia bukannya tak mendapat restu –atau izin dari keluarganya ataupun keluarga Hyukjae- sama sekali tak seperti itu. Orang tuanya menyukai Hyukjae, terlalu menyukainya –nah, itu kasus yang berbeda. Calon mertuanya, orang tua Hyukjae, juga menerima Jiyoo. Bukan masalah restu yang dipusingkan oleh gadis 22 tahun itu.

Jiyoo selalu merasa bahwa dalam suatu pernikahan, tantangan terbesar adalah menggabungkan dua keluarga besar dengan masing-masing pribadi yang sangat amat berbeda.

Hingga dua puluh menit sebelumnya, ia masih berpikir demikian. Setidaknya hingga Lee Hyukjae benar-benar tertidur di tengah penjelasan Jiyoo mengenai undangan pernikahan mereka. Sekarang, Jiyoo mulai berpikir, tantangan terbesar dalam sebuah pernikahan adalah bagaimana caranya merencanakan acara pernikahan yang sempurna jika sang calon suami selalu tampak kelelahan.

Jiyoo menghela napas kesal. Tangannya menopang dagu, memandangi Hyukjae yang tertidur dengan posisi duduk. Agaknya sia-sia saja Hyukjae meluangkan waktu untuk datang malam ini. Lelaki itu baru menyelesaikan rapat penting –setidaknya itu yang Jiyoo tahu tadi siang, sebelum Hyukjae berada di depan pintu apartemennya.

“Aku akan menggantikannya,” sahut Daehyun, temannya sejak kecil.

Jiyoo memelototinya dan berkata, “Aku akan menikah dengan Lee Hyukjae, bukan dengan Jung Daehyun.” Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil memain-mainkan pulpen panjang berwarna. “Harusnya aku tidak membawanya ke sini.”

Daehyun menatap gadis di hadapannya dengan sorot simpati. Temannya itu sudah menjelaskan, menjabarkan dan memamerkan banyak hal yang ingin dilakukannya dalam persiapan pernikahan dengan Hyukjae. Ia akan memenuhi altar dengan warna perak dan hijau. Ia ingin memesan kue pernikahan yang dihiasi strawberry dan cokelat cair. Ia ingin mewujudkan pernikahan impiannya.

Tapi Daehyun juga tak menyalahkan Hyukjae. Lelaki itu terlalu baik, terlalu sayang untuk disalahkan. Daehyun tahu Hyukjae sudah menyiapkan apartemen yang pernah Jiyoo tunjukkan padanya. Tanpa sepengetahuan Jiyoo, Hyukjae selalu menyiapkan sesuatu untuk gadis itu. Dan sepertinya, demi memberikan segalanya untuk Jiyoo, Hyukjae benar-benar bekerja keras. Hingga sangat kelelahan, Daehyun berpikir muram.

Ia lebih muram lagi saat melihat Jiyoo memiringkan kepala untuk memandangi Hyukjae. “Biarkan saja dia tidur.”

“Memangnya aku bilang akan membangunkannya?” balas Jiyoo tanpa memalingkan pandangan. “Dia pasti kurang tidur.” Kemudian ia berkata, “Daehyun-ah, apa kau bisa memindahkannya ke kamar tidurku?”

“Dia bisa terbangun.”

Jiyoo menarik napas panjang. “Baiklah. Kau boleh pulang.”

“Kau mengusirku?” tanya Daehyun dengan nada tak percaya. “Ya, aku teman yang sering memberi nasihat dan kata-kata bijak dalam hidupmu. Kau mengusirku setelah aku menemanimu menunggu Hyukjae selama dua jam?”

Eo. Aku memintamu untuk pulang, Jung Daehyun,” Jiyoo tertawa. Ia melirik jam dinding yang kedua jarumnya menunjukkan pukul 9:15. “Dan, bukankah biasanya kau juga selalu menemaniku menunggu laki-laki ini?” ujarnya sambil menunjuk tunangannya. “Pergi sana.”

Daehyun menggeleng-gelengkan kepala. “Baik, baiklah. Aku pulang,” katanya dengan aksen Busan yang kuat.

Jiyoo kembali menatap Hyukjae yang tertidur setelah mendengar suara pintu tertutup. Ia mengangkat tangan kanannya dan memusatkan pandangannya pada jari manis yang berhiaskan cincin emas putih. Pikiran-pikiran baru kemudian melintas dalam kepalanya.

Ia dan Hyukjae akan menikah, tapi ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan keduanya setelah ini. Jiyoo mengenakan cincin dari Hyukjae dan bersedia untuk menikah dengannya. Tiap ia melihat jari manisnya, ia selalu yakin dengan pilihan itu; bahkan sebenarnya ia tak pernah memikirkan ada pilihan lain selain menerima Lee Hyukjae. Jiyoo tak khawatir atau ketakutan terhadap besarnya keyakinan dirinya atas Hyukjae.

Sialnya, belakangan ini segalanya terasa berbeda. Jiyoo mulai mempertanyakan keputusan yang telah dibuatnya sendiri. Ia membayangkan hidup yang seperti apa yang akan dijalaninya bersama Hyukjae. Akankah sama menyenangkannya dengan harapannya? Akan ada pertengkaran, tentu. Tapi tak masalah jika ia dan Hyukjae bisa melewatinya.

Tapi, bagaimana jika tak satu pun dari mereka mampu bertahan?

Jiyoo menghela napas panjang sambil tetap menatap cincin di jemari manisnya. Ia dan Hyukjae, benarkah memang harus disatukan? Atau sebenarnya ia-lah yang memaksa keduanya untuk disatukan?

“Ah!” ia berseru, frustasi dengan isi kepala yang menyesatkan. Jiyoo kembali memiringkan kepala, menopangnya dengan satu tangan kemudian memandangi lelaki di sampingnya.

Kedua matanya memerhatikan garis wajah lelaki itu dengan cermat, seolah Jiyoo mencoba menghapal tiap pahatan yang diukirkan Tuhan untuk lelakinya. Jiyoo merasa geli dengan pemikiran itu. Mengamati Hyukjae adalah kegiatan sederhana favoritnya, sekaligus sebagai pengalih pikiran saat gumpalan pikiran awan gelap memenuhi kepalanya seperti ini. Jiyoo bisa dengan mudah mengabaikannya, walaupun tak benar-benar menguburnya.

Hyukjae bergerak sedikit ketika Jiyoo masih asyik memandangi lelaki itu. Perlahan, Hyukjae membuka kedua matanya. Sepasang maniknya berkedip-kedip, berusaha memusatkan pandangan dan membiasakannya dengan cahaya di sekitar.

Lelaki itu tersenyum malas ke arah Jiyoo. “Aku tertidur lagi ya?”

Jiyoo hanya mengangkat bahu sebagai jawabannya. Tak peduli sesering apapun Hyukjae membiarkannya terjaga sendiri, Jiyoo tak akan bisa kesal pada lelaki itu –yah, mungkin sedikit, hanya saat Hyukjae tertidur. “Pulang sana,” pinta Jiyoo.

Hyukjae tak mengindahkan ucapan Jiyoo. Ia meraih album berisi kumpulan contoh undangan pernikahan yang dibawakan oleh kakak Jiyoo dan membuka isinya. Tanpa suara, Hyukjae mengamati satu per satu contoh undangan. Jiyoo tahu ekspresi wajah itu; ekspresi menilai, mempertimbangkan sebelum menentukan pilihan. Tentu saja Jiyoo tak bisa berbuat apa-apa, kecuali kembali mengamati Hyukjae.

Kegiatan seperti ini, menurut orang lain, mungkin terlihat bodoh. Jiyoo mengamati Hyukjae yang sedang mengamati contoh undangan pernikahan. Jiyoo tergelitik. Tapi kegiatan ini cukup menyenangkan. Karena Jiyoo tahu Hyukjae peduli pada pernikahan mereka, karena Hyukjae bersedia menunjukkan kepedulian itu dan karena, tentu saja, mengamati Hyukjae tak akan pernah jadi hal yang membosankan.

“Jadi… kau mau warna apa?” tanya Hyukjae mendadak.

Jiyoo mengangkat sebelah alisnya. “Hijau dan perak. Atau perak dan ungu. Atau… perak dan putih.”

“Ada apa dengan warna perak?” Hyukjae akhirnya menoleh, menatap Jiyoo.

Kali ini Jiyoo hanya mengangkat bahu. “Sepertinya bagus.”

Keheranan, alis Hyukjae terangkat. Ia menyuarakan kebingungannya melalui tatapan mata. Karena tak mendapat jawaban, ia bertanya, “Hanya karena itu?”

“Kau tidak suka?” Jiyoo balik bertanya.

“Hijau-perak saja,” kata Hyukjae, memutus sahut-sahutan pertanyaan antar keduanya. Jiyoo meresponnya dengan senyuman lebar penuh kemenangan. Lelaki itu memiringkan kepala, “Kau tidak mau tahu alasannya?”

“Karena aku menyebutkan pilihan itu pada urutan pertama?”

Hyukjae mendengus pelan. “Kaupikir aku akan selalu menuruti ucapanmu ya?”

“Aku, kan, hanya menebak,” sahut Jiyoo acuh. Kemudian ia melipat kedua tangan di atas meja. “Lalu, kenapa?”

“Sepertinya bagus,” ujar Hyukjae, mengembalikan ucapan Jiyoo. Lelaki itu tertawa saat Jiyoo menyipitkan mata, memandangnya sinis. “Aku serius. Sepertinya bagus. Aku pernah melihatnya di contoh dekorasi upacara pernikahan, tapi fuschia dan perak.”

Lelaki itu menundukkan kepala dan mengamati contoh undangan dengan lebih seksama. Sepertinya kedatangan Hyukjae malam ini tidak sia-sia. Sama sekali tidak sia-sia. Saat ini lelaki itu bahkan lebih bersemangat daripada Jiyoo sendiri.

Jiyoo mengendurkan otot wajah dan kembali berkelana di dalam kepalanya sendiri. Persiapan pernikahan ini diserahkan pada keluarga Hyukjae, dengan sebagian diurus oleh keluarga Jiyoo. Enam bulan bukan waktu yang sebentar, tapi Jiyoo tahu enam bulan bisa saja berakhir begitu saja dan dapat secara tiba-tiba hadir di depan matanya. Jadi, Jiyoo tak ingin bersantai-santai.

Ia sudah memutuskan akan memilih kartu undangan dan kue pernikahan. Mungkin juga gaunnya dan setelan jas yang akan dikenakan Hyukjae. Ditambah dengan pernak-pernik kecil yang wajib ada di tiap sudut gedung pernikahannya. Secara tidak langsung, Daehyun pernah menyela, Jiyoo ingin melakukan semuanya sendiri dan dua keluarga hanya harus menuruti keinginannya.

Untungnya, Hyukjae sama sekali tak melarang Jiyoo. Jika ia diminta untuk memberikan pendapat, ia akan melakukannya. Jadi, Jiyoo benar-benar senang jika Hyukjae selalu menawarkan diri untuk menyumbangkan pikiran. Karena pada akhirnya, pernikahan ini bukan pernikahan Jiyoo seorang.

“Aku suka yang ini,” ujar Hyukjae sambil menyodorkan halaman album yang terbuka. Jiyoo mengintip dan menemukan gambar berbentuk prisma segi-lima berwarna kuning gading dan merah bata. “Tidak terlalu rumit tapi elegan. Warnanya bisa kita sesuaikan nanti.”

Jiyoo terdiam agak lama kemudian bertanya, “Apa kau benar-benar akan menikahiku?”

“Eh?” Hyukjae melongo, kebingungan. Ia kemudian tertawa nyaring. “Kenapa, kau tidak mau kunikahi?”

“Memangnya tidak aneh? Kurasa lamaranmu dua bulan lalu sama sekali bukan lamaran serius…”

Hyukjae tertawa semakin keras. Ia tertawa hingga perutnya terasa sakit. Saat Jiyoo menatapnya dengan tajam, ia dengan susah payah berhenti tertawa. Ia menghela napas dan tersenyum. “Bagimu, mungkin aneh. Tapi bagiku, tidak sama sekali.” Hyukjae akhirnya menutup album di tangannya. “Bukankah kita memang harus menikah?”

Jiyoo merasakan aliran listrik statis yang menyengat seluruh tubuhnya saat Hyukjae mengatakan hal itu dengan sangat yakin. Benarkah? Apakah pada akhirnya mereka memang harus menikah? Jiyoo kagum sekaligus takut dengan keyakinan Hyukjae. Ia takut perasaannya pada lelaki itu menjadi semakin besar walaupun ia tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi saat perasaannya memang sudah terlanjur besar.

“Jadi?” Hyukjae menuntut respon.

Jiyoo tertawa kecil dan berkata, “Pulang sana. Kita bertemu lagi besok. Ibumu bilang gaun dan setelan jas sudah selesai.”

“Jam berapa?” Tiba-tiba raut wajah Hyukjae berubah khawatir. Jiyoo sudah bisa membaca wajah itu dan ia tahu Hyukjae akan berkata, “Aku tidak yakin–“

“Iya, iya. Aku akan ke sana sendiri. Kalau kau ada waktu, kita pergi bersama,” ujar Jiyoo.

Hyukjae tersenyum bersalah sebelum melemparkan senyuman miring yang jahil. “Kurasa aku bisa menikah denganmu berkali-kali.”

“Tapi belum tentu aku akan selalu menerima lamaranmu.” Jiyoo tertawa lepas.

Jiyoo menggigit bibir, menahan luapan rasa senang saat melihat gaun di depan matanya. Seperti gaun pernikahan lain, warnanya putih, terasa halus saat disentuh dan seakan selalu memanggil tiap dipandang. Tapi ini gaunnya; gaun pernikahan impiannya. Jiyoo melirik Lee Sora, kakak perempuan Hyukjae, sambil tersenyum. ia memang meminta bantuan Sora untuk mewujudkan bayangan gaun pernikahannya menjadi nyata.

Dan gaun itu saat ini lebih indah daripada yang pernah ada dalam bayangan Jiyoo sebelumnya.

“Kau suka?” tanya Sora. Kedua matanya melebar penuh ekspektasi.

Jiyoo menganggukkan kepala berulang kali, seolah takut Sora tak memercayainya. Pandangannya beralih pada setelan jas hitam di samping gaunnya sendiri. “Ini milik Hyukjae, kan?”

“Iya, temanku memakai ukuran tubuh Hyukjae tahun lalu. Kalau tidak salah waktu dia minta dibuatkan jas baru untuk pesta pernikahan temannya.” Sora mengingat-ingat, kemudian melirik calon iparnya. “Masalahnya, aku tidak yakin ini ukuran yang pas untuk Hyukjae.”

Hyukjae sudah mengatakan kemungkinan, dimana memang cenderung benar, ia tak bisa ikut melihat setelan jas yang akan dikenakannya saat pernikahan hari ini. Jiyoo juga sudah meyakinkan diri sendiri bahwa itu bukan masalah besar. Masih ada waktu enam bulan untuk mempersiapkan semuanya dan tak mungkin, Jiyoo berharap, selama enam bulan tak akan ada waktu luang bagi Hyukjae untuk sekedar fokus pada persiapan pernikahan mereka.

“Tidak apa-apa, mungkin dia sangat sibuk,” ucap Sora menenangkan.

Jiyoo melirik calon kakak iparnya dan tersenyum samar. Ia berusaha untuk tersenyum walaupun tak yakin garis bibirnya bisa membentuk senyuman yang benar. “Yang terpenting dia bisa meluangkan waktu untuk fitting pertama minggu depan, Eonni.”

“Benar,” sahut Sora. “Kau sudah mengingatkan Hyukjae soal itu, kan?”

Kali ini Jiyoo bisa tersenyum bangga. “Sudah kucatat di ponselnya.”

Benar. Jiyoo sudah memastikan ponsel Hyukjae akan mengingatkannya tentang acara penting mereka. Sejak pertama kali desain busana rampung hingga mewujudkannya dalam bentuk setelan jas dan gaun pernikahan, Hyukjae tak pernah ada. Jiyoo juga tak keberatan kala itu; ia paham benar mengenai jadwal Hyukjae yang sama sekali tidak fleksibel. Jadi, kali ini Jiyoo tak ingin Hyukjae melewatkan acara mereka.

Jika seandainya ponsel Hyukjae tak sanggup menyelamatkan agenda penting mereka, Jiyoo bahkan sudah memutuskan akan menjemput paksa calon suaminya agar ikut dengannya. Hari penting itu sama sekali tak boleh gagal. Jiyoo meneguhkan tekad.

“Yoo, mau kuantar pulang?” tanya Sora seraya mengangkat tas tangannya.

Jiyoo menggeleng dan tersenyum. “Aku ada janji dengan Daehyun, Eonni.”

Saat ia dan Sora berpisah di depan pintu kaca butik, Jiyoo mengeluarkan ponsel layar sentuh dari dalam tasnya. Alisnya terangkat sebelah. Daehyun berkali-kali menghubunginya, atau menurut laporan di layar ponselnya, temannya itu berusaha menghubunginya sebanyak 16 kali. Jiyoo menekan tanda hijau dan menunggu nada hubung yang monoton.

Jiyoo memandang layar ponselnya kembali saat tak ada jawaban dari Daehyun. “Mwoya…”

“Daehyun tidak menghubungimu?”

Jiyoo meletakkan cangkir keramik bermotif bunga di atas meja sebelum menjatuhkan diri di samping Hyukjae. Lelaki itu menggeleng kemudian meneguk cairan cokelat hangat dari bibir cangkir. “Kenapa?”

“Seharusnya aku bertemu dengannya hari ini,” ujar Jiyoo pelan. “Tapi dia tidak datang. Ponselnya sama sekali tidak bisa dihubungi. Kupikir dia memberitahumu sesuatu.”

Hyukjae meletakkan kembali cangkirnya dan menarik Jiyoo mendekat hingga gadis itu bersandar sepenuhnya di lengannya. Hyukjae bergumam, “Dia tidak menghubungiku sama sekali. Mungkin dia sedang ada urusan.”

Urusan macam apa hingga Daehyun memutuskan kontak seperti ini? Jiyoo menahan diri untuk bertanya. Temannya itu sempat berusaha menghubunginya, yang berarti Daehyun ingin menyampaikan sesuatu padanya. Dan sekarang, Daehyun seolah menghilang.

“Teman-temannya?” Hyukjae membaca kerisauannya –Jiyoo sadar itu dan ia senang.

“Dia, kan, tidak benar-benar punya teman di Seoul. Paling-paling temanku dan beberapa temanmu,” sahut Jiyoo. “Dan aku sudah mencoba mencari tahu dari mereka, tapi tidak ada yang tahu.”

Hyukjae kembali mengangkat cangkir kemudian meneguk habis cairan di dalamnya. “Dia akan baik-baik saja,” katanya singkat. “Lalu, bagaimana hasil pertemuan di butik hari ini?”

Hyukjae berhasil mengalihkan perhatian Jiyoo karena gadis itu kini duduk bersila sambil menghadap Hyukjae. Ia mulai mengeluarkan pendapat panjang lebar mengenai gaunnya, setelan jas Hyukjae, sekaligus kartu kuning untuk Hyukjae yang seharusnya menemaninya hari ini. Jiyoo juga dengan tegas memberi peringatan untuk Hyukjae agar tak melupakan agenda penting selanjutnya.

Seperti biasa, Hyukjae hanya mendengarkan sambil sesekali tertawa melihat antusiasme Jiyoo. Ia bisa dengan mudah menggambarkan ekspresi wajah Jiyoo saat berada di butik itu dalam pikirannya.  Agenda minggu depan menjadi fokus utama Hyukjae. Ia harus menemani Jiyoo –ia ingin.

Hyukjae menyumbangkan beberapa masukan mengenai tambahan setelan jas dan gaun yang bisa dikenakan mereka di acara resepsi. Ia mendapatkan ide saat memikirkan Jiyoo waktu istirahat makan siang. Keduanya saling melempar gagasan, memangkas beberapa yang tak sesuai dengan mereka kemudian memadukan atau merombaknya. Inilah yang diinginkan oleh Jiyoo –diskusi pribadi dengan banyak gurauan menyenangkan.

Untuk sesaat, topik mengenai Daehyun bisa menunggu.

Next week – Boutique

“Apa maksudmu tidak bisa datang?” suara Jiyoo tertahan, mencegah sederet omelan panjang keluar dari mulutnya. Ia melirik Sora yang sedang berbincang dengan perancang busana yang juga temannya. Untuk sesaat Jiyoo memejamkan mata, berusaha untuk melupakan atau sekedar meredam kekesalannya saat ini. “Semalam kau sudah janji–“

Hyukjae memotong ucapannya. “Aku tahu, tapi–“

“Kau tahu, lalu?” potong Jiyoo. Sejujurnya, ia sudah terlalu lelah untuk mendengarkan penjelasan lelaki itu. Karena jika ia mendengarkan, ia pasti akan berusaha memahami Hyukjae. Jadi ia memilih untuk tak ingin lagi memahami lelaki itu kali ini. “Sora eonni dan temannya sudah meluangkan waktu untuk kita,” Jiyoo berkata muram.

Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Jiyoo menghargai usaha Hyukjae yang satu itu; untuk tidak memaksakan apa pun yang mungkin bisa menjadi perisainya. Setidaknya Jiyoo bisa beranggapan bahwa lelaki itu menyesal karena sudah mengingkari janji.

Jiyoo benar-benar tak percaya Hyukjae melupakan janjinya. Ia sudah mengingatkan lelaki itu dengan berbagai cara. Satu hal yang paling tak disukai olehnya adalah ketidakteraturan. Hal lain yang juga dibencinya adalah orang terdekat yang selalu tak bisa bersikap sistematis dan mematuhi rencana. Jiyoo melempar pandangan ke luar jendela butik. Kali ini, kombinasi dua hal yang sama sekali tak disukainya itu menyerang dan berhasil membangkitkan amarah dalam dirinya.

Ia menarik napas, membiarkan oksigen memenuhi dirinya dengan akal sehat. “Aku akan mengurus ini. Dan kau! Kau akan fitting lain waktu. Sebaiknya jangan–“

“Aku bisa fitting hari ini,” ujar Hyukjae. Kedua mata Jiyoo melebar dan ia bisa melihat harapan saat ini. ia berharap lelaki itu memaksakan diri untuk meluangkan sedikit waktunya sekarang. Hyukjae berdeham pelan sebelum berkata dengan ragu, “Aku sudah menyuruh Kyuhyun ke sana.”

Harapan yang tadi sempat dilihat Jiyoo kemudian menghilang begitu saja. Tirai harapan itu memang terbuka, tapi Jiyoo dihadapkan pada dinding putih yang membuatnya pusing. “Kyuhyun?”

Eo,” sahut Hyukjae santai. Seandainya lelaki itu bisa melihat ekspresi wajah Jiyoo saat ini, mungkin ia tak akan berani berkata seperti itu; seolah-olah ia sudah menemukan solusi terbaik dari masalah yang ditimbulkannya. “Aku masih ada rapat di luar kantor, kita bertemu di apartemenmu jam 8?”

Jiyoo menggertakkan giginya kuat-kuat sambil menimbang-nimbang apakah ia perlu menjawab ajakan Hyukjae atau tidak. Ketika melihat sosok lelaki yang dikenalnya masuk melalui pintu kaca butik, Jiyoo menghela napas panjang. Lelaki bernama Cho Kyuhyun itu melambai ke arahnya. Ia berjalan melewati manekin-manekin bergaun putih sebelum berhenti di depan meja kayu. Sebuah album bersampul kulit menarik perhatiannya. Kyuhyun mulai memandangi foto-foto busana pernikahan dalam album itu dan menunggu Jiyoo selesai menelepon.

Saat Jiyoo melihat Kyuhyun, rasa kesalnya semakin membuncah. “Yoo?” suara Hyukjae di ujung telepon juga membuatnya marah.

Ia tak habis pikir bagaimana Hyukjae sanggup beranggapan bahwa agenda pengukuran busana pengantin mereka bisa diwakilkan. Jiyoo menurunkan ponsel dari telinga kanannya dan mencengkramnya kuat. Akhirnya ia memilih untuk tak mengucapkan apa-apa pada Hyukjae.

“Kau benar-benar datang karena disuruh olehnya ya?” Jiyoo bertanya pada Kyuhyun seraya berjalan ke arah lelaki itu.

Kyuhyun hanya bergumam, “Mm-hm.” Perhatiannya masih tertuju pada halaman-halaman album contoh di depannya. Ia baru mendongak menatap Jiyoo saat telapak tangan gadis itu mendarat kasar di halaman yang terbuka. “Kau marah padaku atau padanya?”

Jiyoo tak menyahut. Hanya tarikan napas pendek-pendek yang menjadi penanda bahwa gadis itu sedang mengamuk. Ia menggigit bibir bawahnya. Bibirnya kemudian terbuka, seolah hendak mengatakan sesuatu, namun akhirnya ia tak mengucapkan apapun. Karena ia tahu, jika ia bersuara, ia pasti akan menangis.

Dan menangis di depan sahabat tunanganmu bukanlah tindakan yang bijaksana.

Cangkir berisi cairan cokelat itu masih mengepulkan uap panas, menandakan bahwa isinya hangat dan pasti menenangkan. Malam yang dingin seharusnya sudah cukup untuk menjadi alasan agar isi cangkir itu diteguk habis. Namun, sepertinya ada jutaan alasan lain untuk tidak meneguk isi cangkir berukiran bunga itu.

Bahkan, ada banyak alasan untuk tidak bergerak sama sekali.

Jiyoo tak memandang Hyukjae sejak lelaki itu tiba di depan pintu apartemennya. Ia tak peduli ketika lelaki itu hanya menatap matanya sekilas kemudian menuju dapur. Sepasang telinganya adalah indera utama yang dimanfaatkan Jiyoo malam ini. Ia mendengar suara ketel diambil dari laci dapur, suara air dituangkan ke dalamnya hingga kompor yang dinyalakan.

Sebaliknya, Hyukjae berulang kali melirik ke arah Jiyoo sejak ia berada di dapur. Gadis itu sama sekali tak menghiraukannya. Ia tahu ada banyak hal yang pernah dan selalu membuat Jiyoo kecewa, tapi sepertinya yang satu ini terlalu sulit untuk diabaikan.

Kedua tangannya membawa cangkir berisi teh hangat. Ia meletakkan dua cangkir tepat di atas meja di hadapan mereka sebelum ia mengambil tempat di samping Jiyoo. Dengan hati-hati, ia menatap wajah Jiyoo. Raut wajah gadis itu tak bisa dibaca –atau sebenarnya bisa, tapi Hyukjae menolak untuk membacanya.

“Aku tahu kau tidak mau minum teh buatanku,” ucapnya perlahan, “tapi setidaknya berusahalah mencicipinya.” Hyukjae menawarkan senyuman tipis, meraba-raba batasan yang perlu ia ketahui untuk menguji level kemarahan Jiyoo kali ini.

“Apa kau bahkan berusaha?”

Pertanyaan singkat itu membuat Hyukjae tertegun. Pandangannya beralih pada isi dalam cangkir. Tapi ia sendiri tahu bahwa Jiyoo tak sedang bertanya tentang teh buatannya.

“Apa kau bisa mengingatkanku, tentang bagaimana kita bisa memutuskan untuk menikah?”

Kali ini Jiyoo kembali mendapat perhatian Hyukjae sepenuhnya. Lelaki itu mengerutkan kening. Jiyoo mengeluarkan pertanyaan itu tanpa menatapnya dan hal itu membuat lidah Hyukjae kelu. Jika Jiyoo menatapnya, ia bisa langsung menegur gadis itu karena ucapannya dan berkata bahwa pernikahan mereka memang sudah menjadi keharusan, tanpa perdebatan. Tapi kelelahan yang tercurah melalui suara Jiyoo berhasil membuat Hyukjae kehilangan kata-kata.

“Aku harus bagaimana, Lee Hyukjae?” Jiyoo bertanya lagi. Suaranya bergetar. “Kalau kau bisa sekedar menyuruh orang mewakilimu di saat seperti ini, kenapa kau tidak menyuruh Donghae atau Kyuhyun juga untuk mewakilimu di altar?”

Hyukjae memang mengingat beberapa kesempatan yang hilang; saat pertama kali mencari gedung, menemui perancang busana pengantin hingga mengambil contoh undangan. Semua kesempatan itu berakhir di tangan Donghae karena Hyukjae yang meminta. Seakan belum mengerti dengan kekecewaan Jiyoo, ia mengulanginya lagi. Seharusnya hari ini ia bisa berada di butik yang dijanjikan dan bukannya menyerahkan kesempatan itu pada Kyuhyun.

Dan jika ia bahkan memiliki pikiran untuk meminta orang lain mewakilinya di altar, ia pasti benar-benar sudah gila, tolol dan bodoh maksimal.

“Maaf,” sepatah kata itu meluncur dari bibirnya. Hyukjae menelan ludah. “Maaf…”

Jiyoo menatap datar cangkir teh di hadapannya. Telinganya seolah mati dan tak bisa mengirim sensor menuju otaknya untuk menanggapi permintaan maaf itu. Ia bahkan tak tahu apakah ia benar-benar marah. Kalau pun iya, ia tak yakin apakah ia bisa memaafkan Hyukjae.

Pernikahan adalah hal yang menyenangkan untuk dibayangkan. Namun, Jiyoo tahu satu hal, bahwa pernikahan dengan lelaki ini adalah hal terbaik yang bisa ia bayangkan untuk terjadi. Pernikahan dan Lee Hyukjae seakan menjadi kombinasi mutlak yang saling mengiringi dan tak akan bisa menjadi satu pilihan tunggal.

Ia menginginkan pernikahan… dan Lee Hyukjae. Tadinya seperti itu. Jiyoo pikir akan terus seperti itu.

Tapi kali ini, ia tak yakin lagi.

Day after tomorrow

Jiwa keduanya seperti tertukar. Hyukjae memilih semua hal remeh dan detil mungil untuk pernikahannya dengan Jiyoo. Tak ada satu hal pun yang terlewat dari pikirannya; tentang makna-makna di balik pemilihan pernak-pernik pernikahan hingga tindakan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan hal-hal kecil pernikahan. Sementara Jiyoo seolah tersesat dan kehilangan minat untuk ikut serta dalam perencanaan itu.

Ia hanya mengiyakan segala hal yang ditanyakan Hyukjae dan memberi pendapat sekenanya saat diminta. Tak ada lagi kenyamanan dan kesenangan merencanakan pernikahan impiannya. Bahkan bagi dirinya sendiri, hal itu aneh.

Sejak pertengkaran keduanya, Jiyoo tak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia memahami Hyukjae yang sedang berusaha merebut hatinya hingga bisa mendapat pengampunan kali ini. Hyukjae masih mengucapkan kata maaf melalui tindakan. Jiyoo mengerti dan memahami maksud lelaki itu. Ia bahkan sadar sepenuhnya bahwa seharusnya ia melakukan sesuatu agar Hyukjae tak lagi merasa bersalah. Bagaimana pun, pernikahan mereka tetap harus dilaksanakan.

Pada bagian inilah Jiyoo sama sekali tak mengenal dirinya lagi; saat kata ‘harus’ kini menjadi sesuatu yang justru membebaninya.

Keduanya duduk di sudut sebuah restoran. Restoran dua lantai itu dipenuhi rak buku dengan suasana yang tenang. Ada dua meja yang terisi selain meja Hyukjae dan Jiyoo. Keduanya tak saling bicara. Faktanya, keduanya sudah jarang bicara sejak malam itu. Jika ingin dicatat, hal ini menjadi rekor bagi Hyukjae dan Jiyoo. Tiga hari dan, Hyukjae cemas, mungkin bisa bertambah.

“Apa… kau masih marah padaku?”

Jiyoo menatap Hyukjae, menekuni lekukan garis wajahnya. Ada bagian hatinya yang terbuka, tampak menganga dan tak bisa tertutup lagi, bahkan dengan permintaan maaf Hyukjae. Ia sendiri tak mengerti bagaimana bagian itu bisa terbuka dan membuatnya seperti ini. Tapi ia tak ingin terus-menerus seperti ini. Jiyoo ingin mengenali dirinya lagi.

Kepalanya menggeleng. Jiyoo memutuskan bahwa hal itu belum cukup, jadi ia menyunggingkan senyuman tipis. “Tidak, kurasa.”

“Kaurasa?” ulang Hyukjae. “Aku sudah melakukan semua hal yang mungkin kauminta.”

Seharusnya kalimat itu menjadi lelucon santai khas Hyukjae, tapi Jiyoo terlanjur mengartikannya berbeda. Lee Hyukjae sedang mengeluh padanya dan ia tak terkesan dengan itu. Jiyoo kembali menghindari tatapan Hyukjae dan melempar pandangannya ke luar jendela restoran. Pikirannya mengenali seseorang yang berdiri di seberang jalan. Ia berdiri dari kursinya secara tiba-tiba, menimbulkan suara yang membuat seisi restoran melihat ke arahnya, termasuk Hyukjae.

“Ada apa?”

Jiyoo tak sempat menjawab. Tubuhnya bergerak sendiri. Ia berlari ke luar, meninggalkan Hyukjae dan menuju seberang jalan. Sosok yang dilihatnya masih berdiri memunggunginya.

“Jung Daehyun!” ia berseru. Sebelah tangannya sudah menepuk pundak orang itu sebelum kemudian Jiyoo mundur selangkah. Wajah itu bukan wajah yang sedang dibayangkannya. “Maaf, kukira…” Ia berbalik, berharap bisa melupakan kebodohannya saat ini.

Hyukjae berdiri di depannya, terengah-engah karena buru-buru menyusulnya. Wajah lelaki itu kebingungan dan penuh dengan rasa tak percaya. “Apa yang kaulakukan!? Bukan, apa yang kaupikirkan sampai kau bisa menyeberang seperti tadi!?”

Jiyoo menggigit bibir bagian bawahnya. “Maaf,” ujarnya sambil meraih tangan Hyukjae untuk digenggam.

Walaupun marah, Hyukjae tak berkata apa-apa lagi. Setidaknya Jiyoo masih memilih untuk menggenggam tangannya. Ia menggertakkan gigi dan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan melepaskan tangan ini. Gadis yang berjalan di sampingnya tak berkomentar saat Hyukjae membawanya menuju kembali ke restoran.

Hyukjae duduk di kursinya setelah memastikan Jiyoo duduk dan tak berniat untuk berlari lagi. Raut wajahnya melembut. “Ada apa tadi?”

“Kau tahu, kan, aku masih belum bisa menghubungi Daehyun. Kukira… kukira itu tadi dia,” jawab Jiyoo pelan. Ia begitu kalut dengan masalahnya sendiri dengan Hyukjae hingga ia melupakan Daehyun. Tak ada yang menghubunginya untuk memberi kabar tentang temannya itu. Entah bagaimana, Jiyoo juga tahu hal itu. Karena Daehyun tak benar-benar memiliki teman dekat di Seoul. Ia kemudian bergumam, “Apa… mungkin dia ada di Busan?”

Hyukjae mendongak menatap Jiyoo. Baru kali ini ia tak suka saat Jiyoo melupakan masalah persiapan pernikahan mereka. Biasanya, ia lebih suka membahas hal lain seperti tempat tinggal mereka setelah menikah karena persiapan pernikahan sudah pasti akan dan sedang dilakukan oleh kedua keluarga mereka. Tapi untuk kali ini, Hyukjae tak menyukai sikap Jiyoo yang terkesan meremehkan persiapan pernikahan.

Gadis itu masih berwajah cemas, lengkap dengan kebiasaannya menggigiti kuku. Hyukjae sangat mengenali kebiasaan itu. Dan fakta bahwa gadis itu sedang menunjukkannya untuk orang lain –yang sebenarnya, menurut Hyukjae, tak lebih penting dibandingkan dengan persiapan pernikahan- membuatnya semakin kesal.

Hyukjae berusaha mengabaikan kekhawatiran Jiyoo dengan memain-mainkan buku menu di depannya. Satu hal yang perlu ia akui, tindakannya itu tak membantu. Rasanya justru lebih membuat pikirannya semakin kacau. Kenyataan lain mengenai tindakan sok romeo dari Daehyun sangat mengganggu Hyukjae saat ini.

Ia dan Jiyoo sudah putus kala itu –sekitar dua tahun yang lalu, Hyukjae mengingat-ingat. Keduanya tak lagi berjalan di sisi jalan yang sama. Arahnya mulai berlawanan dan sama sekali tak ada satu pun dari mereka yang sudi untuk berganti arah, sekedar untuk menyejajarkannya kembali.

Kisah ini baru diketahui Hyukjae ketika ia dan Jiyoo kembali bersama. Jiyoo sendirian, berusaha melupakan Hyukjae walaupun gadis itu sendiri sadar tindakannya terlalu mustahil. Ketika itulah Daehyun datang sebagai teman, menjadi sahabat yang mengendap-endap untuk menjadi seseorang dengan peran yang lebih tinggi dari sekedar yang seharusnya. Daehyun memberikan pengakuan dan berakhir dengan penolakan halus dari Jiyoo.

Tadinya Hyukjae tak mengira akan menghadirkan bayangan itu dalam kepalanya. Ia berhenti memandangi permukaan meja dan beralih pada Jiyoo. Gadis itu sibuk dengan ponselnya. Telunjuk kanannya bergerak-gerak cepat di atas layar sentuh. Hyukjae bisa menebak kegiatan Jiyoo dan tentu saja, apa pun yang sedang dilakukan gadis itu tak akan jauh dari Jung Daehyun.

Hyukjae selalu menganggap lelaki itu sebagai teman. Teman Jiyoo adalah temannya, apalagi jika teman itu selalu memberikan banyak nasihat mengenai Jiyoo. Ia juga mencemaskan Daehyun. Sungguh.

Tapi ketika Jiyoo menunjukkannya secara terang-terangan seperti ini, Hyukjae kembali lupa alasannya untuk khawatir pada Daehyun.

“Dia sudah dewasa. Kalau dia ingin ditemukan, dia akan menghubungimu,” ujar Hyukjae datar, “atau aku.”

Jiyoo tak merespon ucapan Hyukjae. Jika ia meladeni Hyukjae saat ini, ia sangat yakin keduanya hanya akan berakhir dengan pertengkaran. Lagi-lagi, pertengkaran di tempat umum mengenai temanmu yang menghilang benar-benar bukan tindakan yang terpuji.

“Aku ingin tahu kapan kau bisa datang untuk memilih rangkaian bunga dekorasi,” kata Hyukjae, “kau tahu, yang biasanya diletakkan di sudut-sudut gedung dan semacamnya.”

“Kapan?” Jiyoo masih fokus pada ponselnya.

Hyukjae menahan diri untuk tidak merebut benda sialan itu dari tangan Jiyoo. “Besok dan besok lusa. Sora noona akan menemani kita.”

Akhirnya Hyukjae mendapat perhatian Jiyoo. Gadis itu melepaskan pandangannya dari ponsel. “Aku tidak bisa,” ujarnya lirih. Layar ponselnya menunjukkan tampilan pesan dari teman Daehyun di Busan. Jiyoo terlanjur menyanggupi ajakan teman Daehyun itu untuk berangkat ke Busan, dan ia akan berangkat besok.

“Kenapa?”

“Menurut teman Daehyun, dia sempat melihatnya di Busan, jadi kurasa–“

“Jadi ini masih soal Daehyun?” potong Hyukjae cepat. Ia tak berharap Jiyoo akan menyangkalnya, tapi saat Jiyoo benar-benar tak melakukan hal itu, sepertinya Hyukjae merasa nyaris meledak. “Apa kau pernah memikirkan aku dan pernikahan kita?”

Jiyoo mengerutkan kening. Kedua matanya menjadi lebih sipit dan tajam. Tentu saja ia tak terima saat Hyukjae mengucapkan pertanyaan penuh sindiran seperti itu. Sangat tidak terima, apalagi ketika Hyukjae mengucapkannya setelah ia menjadi calon pengantin pria yang sok sibuk hanya selama dua setengah hari.

“Oh… jadi mengirimkan orang lain untuk mewakilimu adalah salah satu bentuk pikiran demi pernikahan? Wah, aku tidak tahu, maaf. Dan terima kasih banyak atas pikiran yang sangat membantu itu.”

Ekspresi Hyukjae berubah menjadi lebih gelap. Garis rahangnya terlihat lebih tegas. Lelaki itu marah. “Kenapa sekarang kau mengungkitnya lagi?”

“Karena harus selalu ada yang mengingatkan.” Jiyoo tak mengendurkan emosinya. “Supaya orang lain bisa belajar arti kata prioritas.”

“Aku tidak ingin bertengkar denganmu di sini,” desis Hyukjae sambil mengatupkan rahang.

“Menurutmu, aku ingin?” balas Jiyoo.

Hyukjae menelan ludah dan bergerak gesit untuk merebut ponsel Jiyoo. Gadis itu melayangkan tatapan protes tanpa suara. Setidaknya selama mereka berada di tempat umum, Hyukjae tak perlu takut bersikap tegas. “Aku akan menyita ponselmu sampai besok pagi,” katanya. “Dan kau tetap harus ikut bersamaku.”

“Sejak kapan kaupikir kau bisa mengatur apa yang harus kulakukan? Kembalikan!” Jiyoo menoleh ke sekeliling sebelum berdesis kesal pada Hyukjae. “Aku harus menemui Daehyun. Kenapa kau tidak–“

“Kalau begitu, biarkan aku bertanya,” ujar Hyukjae. Ponsel Jiyoo dimasukkan ke dalam saku celananya. “Apa yang akan kau pilih, Daehyun atau kita?”

Jiyoo tertegun dan terlalu terkejut hingga ia kehilangan kemampuan berbicaranya. Setelah tiga detik, barulah ia berhasil mencerna ucapan Hyukjae. “Kau… kau minta aku untuk memilih?”

Hyukjae sempat berkedip, ikut terkejut dengan hal yang baru diucapkannya. Tapi ia tak akan menarik ucapan itu. Ia tak ingin. Toh, ia juga ingin mengetahui pilihan Jiyoo.

“Apa aku pernah memintamu memilih?” tanya Jiyoo dengan suara lirih. Wajahnya pucat, seolah tak ada darah yang berhasil dipompa menuju wajahnya itu. “Pekerjaanmu atau kita, mantan kekasihmu yang ada di lingkungan kerjamu atau kita, semua egomu atau kita… kira-kira apa yang akan kaupilih?”

Kali ini suara Jiyoo mulai bergetar. Ia kembali teringat alasan perpisahan mereka dua tahun yang lalu. Hal itu terlihat terlalu dekat sekarang hingga ia ketakutan. Ia takut harus mengambil keputusan yang sama lagi.

“Lee Hyukjae, kau–“ Jiyoo tersedak oleh suaranya sendiri. Air mata terlanjur menggantung di kedua matanya dan ia pasti akan berakhir dengan menangis, seperti biasa. Ia merasa konyol. Sebelum Hyukjae sempat membuka mulut, ia menahannya. Jiyoo memilih tak bersuara seraya melepaskan cincin emas yang tadinya mengikat jari manisnya.

Cincin itu terasa erat di jemari Jiyoo, namun ia berhasil melepaskannya. Hyukjae masih berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mencegah Jiyoo untuk berpikir sesuatu yang sama sekali tak diinginkannya. Tapi, seperti sebelumnya, lelaki itu terlambat. Jiyoo meletakkan cincin itu di atas meja. Hyukjae terpaku, tak sanggup mengalihkan pandangan dari cincin yang kini tampak dingin itu.

Jemari manisnya terasa kosong. Jiyoo melirik jemarinya yang sekarang tak diikat apa pun. Rongga kosong itu menjadi semakin lebar dan tak berdasar, menjadi lubang hitam yang kini menyedot dirinya.

Jiyoo menggigit bibir sebelum bangkit dari kursinya. Kedua matanya tak menemukan apa pun kecuali lelaki yang masih menundukkan kepala. Ia yakin Hyukjae masih mendengarnya. Lelaki itu akan mendengarkan.

“Kau tidak pernah menjadi sebuah pilihan. Tidak akan pernah.”

=========================================

It’s actually only one part, but somehow I wrote a 30-pages-story so yea daripada semuanya capek baca panjang-panjang lol. BTW I’m baaaack people, I’m baaaaack! ;;___;;

The ending of this story will be published on… idk, if I got good respons I’ll publish it asap. Hihihi.. So, see ya guys around? ^^

56 thoughts on “Blending [1 of 2]

  1. Kenapa harus melepas cincin?
    Kenapa Hyukjae babo?
    Aaaahhhh….
    Gak mau jadi sedih.
    Nikahnya uda menghitung bulan.

    Daehyun juga kenapa menghilang. Ah, gak tau harus bicara apa.

    Shella kangen. Akhirnya kamu kembali dengan hyukjae. *sokakrab

    Nextnya cepetan yah. Kepo tingkat dewaaa….

  2. yey \(^_^)/ JiHyuk is back. eon, miss you *sok akrab*

    tapi.. tapi itu kenapa jadi kayak gitu?? 😦 aku harap itu hanya syndrom pra-nikah.. pokoknya jihyuk harus berakhir dipelaminan. HARUS!!

    dan itu ada apa dgn daehyun?? apa dia patah hati ditinggal jiyoo nikah?? daehyun kembalilah~ dan nasihati jihyuk couple biar melanjutkan pernikahan mereka..

    aduh.. kpn yaa aku bisa nulis fanfic kyak gini -_- keren dan feelnya dpt bgt..

    • I miss chu too~ \o/
      Hahahaha.. yakali daehyun patah hati gegara jiyoo. Jiyoo sih bukan tipenya daehyun. *jiyoo tau diri* xD
      Bisa kok nulis kaya gini, latian yg banyaks. ^^
      Terima kasyih suda baca yaa! \o/

  3. Finally JiHyuk is back!!! Yatta!! \(^_^)/
    Suka sama yg ini soalnya daku jg sedang jenuh sama ahjusshi itu (*tunjuk2 kyuhyun) dan kangen luhan.. *curcol
    Jung Daehyun harus segera ditemukan dan Lee Hyukjae.. dunno what i should say to him.
    Chapter selanjutnya jadi nikah ya, eonni!

    • YESSEU FINALLY~ \o/
      chokyu ajussi mah emang bosenin *ditabok* si lulu uda hidup bahagia di cina, kita juga mesti bahagia #sotoy
      Terima kasyih suda bacaa yaa! ^^

  4. ya..ampun lama sekali sejak terakhir kali baca jihyuk…
    sepertinya ini mereka sedang kena sindrom orang mau nikah ya.. bawaannya marahan mulu #eeh
    semoga saja mereka tetap akan nikah and happy end.. 🙂
    dan Daehyun kenapa?

    • Iyaaah.. uda lama juga sejak terakhir nulis jihyuk nih. Huhuhu
      Hahaha.. jihyuk emang hobi berantem di saat2 yang penting. xD
      Terima kasyih syuda baca yaa! \o/

  5. Oh, my!!! I miss Hyuk Jae, so much. Semoga lanjutannya bisa cepat update dan masih menunggu lanjutan kisah JiHyuk yang lain.

  6. daehyun knpa menghilang ?
    Itu jiyoo knpa lepas cincinnya ? Sayang banget kan 😥

    setelah sekian lama akhirnya ada jga ff lgi yg di publis ^^
    hihiihi

  7. aaaahhhhhhhhhhhhh finally jihyuk come back!!!!!!!!!!!! setelah berbulan2 hiatus akhirnya km bawa jihyuk lg ♥♡♥♡ tp knpa galau, eh tp klo g galau bukan jihyuk ding XD
    kata orang sih emang disaat persiapan pernikahan itu saat2 yg menguji bagi pasangan, jd baca ini beneran bisa membuka gambaran mslh apa yg akan hadir menjelang hari bahagia. dari situ jg bisa diliat pasangan itu ttep yakin mau lanjut ato malah mundur XD *sok tau*
    makasiiii update-nya yaa Yoo. ditunggu lagi ♥_♥

    • HAHAHAHAHAHA.. untung baru berbulan2 ya, belom bertaun2. /.\
      IYEEES kamu benar sekali! kalo gak galow ya bukan jihyuk. Rada susah bikin suasana yg gak galow buat jihyuk. xD
      Terima kasyih ya suda baca! \o/

    • Kayanya sekarang yg mesti mengiringi jihyuk si daehyun deh teh hahaha kalo gak dongek. xD
      Noona jangan ganggu daehyun duyu yah, dia masih di bawah kontrak (?)
      Hihihihi teteh kangennya sama yoo yah? ❤

  8. JiHyuk is back? ㅋㅋㅋ
    Ga nyangka kalo ceritanya bakal begini, soalnya tragedi putusnya kan serem(?)

    Dan lagi ceritanya menarik. seru liat jihyuk berantem nya. semoga aja ntar balikan ya hahahaha

  9. Kenapa mereka begitu ?? kenapa mereka malah ribut ? kenapa Yoo malah lepas cincin ? kenapa Daehyun malah ngilang ? KENAPA ?????? Yak ! Lee Hyukjae knp lu mlh ngmng bgtu ? nah kan tuh cincin mlh d.lepas ma Jiyoo, haish sini k.jari gw aja d.pasangnya, wkwkwkwk 😀
    mereka g btal kan nikahnya , eoh ?? Yoo g suka kan sama Daedae ?? JiHyuk HARUS JD NIKAH POKONYA 🙂

  10. Akhirnya jihyuk kembali juga bnar2 penantian yg panjang.chingu knpa crta a sedih gini..tp aqu suka kok..part slnjut a jgn lama2 ya chingu..

  11. Miss u so much…..^^
    kangen berat sma jihyuk couple…
    Sperti biasa…selalu sweet dgn caranya.selalu bisa bkin arti mndlam dgn sesuatu yg simple.
    dan tema prsiapan prnikhan ni pas bgt brengan sma adik aq yg mw nikah jga…jdi sdkit bnyak aq tw.
    kdang saat mnjlang prnikhan org jdi lbih sensitif dan egois,mngkin itu sbabnya bnyk yg bilang godaan mw mnikah itu lbih bsar.tpi empat jempol bwt jiyoo yg udh luar biasa sbar ngdepin hyuk yg super sibuk.smpe akhrnya btas ksbran hbis…
    dan..ada apa dgn jung daehyun????
    dtnggu next capt chingu…jgn lma2 ya publishnya…
    G sbar ni..hehe…

  12. yooooooooooo ~~~~ bogoshiposoyoung~ duuuhhhh kamu piye kabare ? sehat ? hihihi akhirnya kamu come back juga yah. aku rinduuuu padamu bingitlah. anyway itu jiyooooo kenapa pake pundung gituuuu~ ya hyukjae nya juga ya ngegemesin deh ah. bisa bisanya minta wakilin donghae sama kyuhyun, bener kata yoo, gak sekalian aja itu nikahnya juga diwakilin. sebel.
    anyway lagi itu pernikahan jadi terasncam kan.
    dannn itu si daehyun kemana coba ? menghilang gitu ? patah hati banget apa ya dia ? duh duh duh aku tunggu kelanjutannya ya yoo~ hwaiting! muaahhhhh

  13. hiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…………. nongol lagi FF nya…………..

    saiyah kangen ama kopel ini *peyuk ampe gepeng*

    sekian dulu, ntar dibaca ya *balik kerja* hohohoho

  14. aishhh saya pikir ini web udah dikarantina unn, iya beneran,, haghaghgaghhh *V ,,, trimakasih unn dah komebek, aq sih trimsnya ama unnie langsung klau gg ada unn mana bisa ada si monyet ama si Yoo (mulai berantakan ngomongnya efek gg sabaran mau baca !),,, iyap meluncur ke TKP . gomapsimnidaaaa ><

  15. Bbbbrrrrraaaabbeh nih waduh ??? alamakk eonni sayapun klu posisix entah yoo atopun Unyuk gerramlah. singkat kata sih seperti itu .feelnya dpt banget dapettt.. jhiiayayaa habisx mereka makin imut sih.. saya berasa bnget jadi Yoo(nya) dan sellu seperti itu klu sudh tentang JIHYUK … kkkkkkkkkkk … Okeh cuman 2 part kan hufffff semoga part selnjutx gg bikin copot jntung berbanjiran aer mata kita pas masuk kondangan nanti… klupun mereka bubar lagi nyeles dalam dalam dipastikan.

    She eonni : ini orang kenapa sih ? cerita, cerita saya eh dianya..

    me : gomapsimnidaaaa *bow 90’* eonni jjang

    • Hahahaha… jihyuk gak bisa kalo gak galow ato marahan. xD
      *nyimak* *anggukangguk* Iyah deh, iya-in ajah. Haha..
      Terima kasyih syuda baca yaa~ \o/

  16. keren banget sumpaahh! percaya atau tdk, aku nangis baca ini.. jd teringat sesuatu soalnya hahaha #lohkocurhat XD
    kerasa banget feelnyaaa… dan ngenes banget pas jiyoo ngelepas cincin nya omagaa
    lgsg baca yg ke2nya yaaa~

  17. OMG you’re back, She!!! Poo and Yoo are backkk!!! *setel lagu Pharrell Williams-Happy*
    I miss all of you sooooo much!!! *big hug*

    How are you, She??? ^^

    Senengnya hubungan Poo & Yoo ada perkembangan signifikan ❤ ❤ ❤
    Tulisanmu selalu rapi, base on common issue & reflektif, sukaaaaa bangeeettt d^_^b
    Aku ijin lanjut baca ke the end of chapter, ya 🙂

    Keep writing and fighting! ^^9

  18. Aku lupa mau bilang ini…waktu aku baca dua kalimat Yoo di bagian akhir tulisan ini…

    “Lee Hyukjae, kau–“
    .
    .
    .
    “Kau tidak pernah menjadi sebuah pilihan. Tidak akan pernah.”

    I feel like…my heart beats faster and then I lose my breath. Sakti bingit tuh kalimaaattt!!!

  19. kak shellaaaa aku baru mampir setelah sekian dan baru tau ada ff ini terakhir liat belom ada miaann *kedip-kedip*
    nyentuh sekali sih ini aduh hyukjaeee minta ditabok >< masa nyuruh donghae ama kyu yg mau nikah sape woy xD aaa sukaa overall suka kak :3

  20. Homaygoddd setelah bolak balik ke sini, eh ga ada updatean jihyuk. Dan setelah di sibukan kuliah ingat lagi blm berkunjung di sini dan jeng jeng. Jihyuk kembali. Couple paling di tunggu2. Couple paling melas banget karena selalu berat banget kisah mereka. Jangan putus2 lg ya kalian t.t

Leave a reply to Han Maeri Cancel reply