Horromanticology

Horromanticology

Words: 8.843

winter-night-nature-wallpaperdownload-snowy-winter-night-wallpaper-52144-7txrfptr

When something scary teaches you something romantic instead

Dec 6, 2013

“Ayolaaaah…”

Suara memohon itu sudah terdengar nyaris lima kali hari ini di kelas sastra. Shin Hyori menarik-narik lengan Song Chaerin yang dibalut dengan sweater wol berwarna hijau pupus. Chaerin berusaha melepaskan diri dari rengekan dan tarikan tangan Hyori. Gadis itu kembali menunjukkan ekspresi bersalah. “Mian. Aku tidak bisa.”

“Kau adalah orang kelima yang coba kuajak, jangan jadi orang kelima yang menolakku juga,” ujar Hyori memelas. “Memangnya kau tidak mau menjadi salah satu saksi betapa serunya film ini?”

Hyori mengarahkan telunjuknya pada layar monitor iPhone-nya yang menyala dan memutar sebuah video singkat. Sebuah trailer film horor. Video berdurasi dua menit itu menunjukkan layar gelap dengan wajah zombie yang tiba-tiba disorot begitu dekat hingga terlihat daging hitam di bawah kulit yang terkelupas dan orang-orang bergelimpangan diinjak para zombie. The Dead One. Hyori sudah menanti pemutaran film ini sejak lama. Ia bertekad akan menonton premier-nya begitu film ini ditayangkan.

Song Chaerin menggelengkan kepala. “Mian. Aku sibuk minggu-minggu ini.”

Wajah Hyori jelas menunjukkan kekecewaan, tapi temannya itu hanya menepuk pundak Hyori dan berjalan melewatinya begitu saja. Hyori kembali memandangi layar ponselnya, yang masih menampilkan video trailer film. Penantiannya akan film ini tak boleh sia-sia, ia memutuskan. Ia harus, harus menonton film yang satu ini.

Hyori menoleh, memeriksa sekeliling. Ia sudah mencoba mengajak teman-teman yang biasa diajaknya ke bioskop, tapi semuanya gagal. Song Chaerin sebenarnya tak masuk hitungan. Temannya yang itu hanya akan ke bioskop jika yang sedang diputar adalah film-film romantis atau semacamnya, dan Hyori juga tak berharap apa-apa dari Chaerin. Meskipun begitu, ketika Chaerin benar-benar menolaknya, Hyori mulai kehilangan akal.

Ada satu orang –dua, jika memang yang satu mau dihitung- yang bisa menemaninya. Cho Kyuhyun. Hyori mendesah saat memikirkan nama itu di kepalanya. Ia bisa saja menyeret Kyuhyun untuk menemaninya ke bioskop, tapi sebagai gadis dan kekasih yang ingin dianggap baik di hadapan publik, ia tak mungkin menyarankan sebuah film horor sebagai movie-date mereka. Pencitraan, itu kata Hyori.

Satu orang lagi, yang sebenarnya tak masuk hitungan sama sekali, adalah Choi Jiyoo. Hyori mendesah lebih berat ketika mendapati nama itu muncul di benaknya. Choi Jiyoo, gadis yang menjadi kekasih Lee Hyukjae itu, sama sekali tidak memiliki daftar riwayat menonton film horor di bioskop seumur hidupnya. Hyori menggeleng-gelengkan kepala. Sudah pasti ia tak mungkin mengajak Jiyoo. Hal itu bisa saja berarti ia sedang melakukan usaha pembunuhan terhadap Jiyoo –atau dirinya sendiri, jika Jiyoo yang lebih cepat membunuhnya.

Tak ada pilihan lain yang tersisa. Hyori menunduk dengan lesu. Mungkin ia harus menonton sendirian. Tapi ia tak mau menonton sendirian. Dan jika demikian, pilihannya hanya Kyuhyun atau Jiyoo. Kedua orang itu, Hyori yakin, pasti juga akan melakukan penolakan keji terhadapnya. Ia benar-benar seperti tak memiliki teman.

Hyori menatap ponselnya dan membuka menu Pesan. Ada perasaan aneh yang membebaninya. Hyori memainkan zipper tas slempangnya kemudian berseru, “Molla!”

From:
Bbek~

Kyuhyun mengerutkan kening. Pesan dari Hyori, sebagian besar, memang selalu membuat keningnya berkerut. Ia sendiri tak mengerti penyebabnya. Seperti sebuah telepati, ia menganggap beberapa pesan tertentu dari gadis itu, seperti yang satu ini, adalah sebuah panggilan untuknya.

Kyuhyun berjalan melewati koridor sebuah stasiun televisi dan masuk ke dalam ruang tunggu. Setelah menekan nomor Hyori yang sudah dihapalnya, ia menempelkan ponsel ke telinga kanannya dan menunggu. Nada tunggu yang datar membuat Kyuhyun kembali mengerutkan kening. Berani sekali gadis itu tak menggunakan lagunya sebagai nada tunggu. Kyuhyun akan menjadikan hal itu sebagai hal yang akan ditanyakannya pada Hyori begitu mereka bertemu nanti.

“Kau menelepon!” Sama sekali tak ada kata ‘Halo’, pikir Kyuhyun. Dan bukan pertanyaan. Sudah dapat dipastikan bahwa Hyori memang mengharapkan telepon darinya.

“Ya, selamat pagi juga, Hyori-ssi,” sahut Kyuhyun datar. “Ada apa?”

“Um…” Terdengar jeda yang lama sebelum Hyori berkata, “Itu… kau tahu, kan, minggu depan ada premier film… Um… apa kau mau menemaniku?”

Kyuhyun, untuk ketiga kalinya dalam hari ini, mengernyitkan kening. Ia bertanya-tanya apa hal ini sudah menjadi semacam kebiasaan baginya. “Film apa?”

“The Dead One.”

“Film… horor?”

“Um… iya?”

Lelaki itu menahan helaan napasnya yang mulai berat. “Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa harus film horor? Kenapa harus menonton film horor saat bersamaku? Kenapa tidak mengajak teman-temanmu saja?”

Kyuhyun bisa mendengar suara Hyori yang tertahan. “Satu, karena aku suka film horor. Dua, karena kupikir kau akan suka jika kita ke bioskop bersama. Tiga, sekaligus alasan paling valid dan utama mengapa aku mengajakmu, semua temanku sedang tidak bisa bermain.”

“Ajak Jiyoo dan Hyukjae hyung. Aku tidak mau menjadi korban cakaranmu,” sahut Kyuhyun santai.

“Hyukjae oppa bisa kuatur!” seru Hyori. Nada suaranya kemudian menjadi lebih rendah, terdengar lelah dan putus asa. “Tapi Jiyoo… kau seperti tidak mengenalnya saja. Mana mungkin dia bersedia–“

“Buat dia bersedia,” sela Kyuhyun cepat. Ia tak mau repot-repot membayangkan raut wajah kesal Hyori. “Terakhir kali aku menonton film horor bersamamu, di dorm-mu dengan lampu dipadamkan, ada bekas kuku yang merah di lengan kananku.”

Hyori merajuk. “Pakai saja baju yang tebal. Ya?”

Hampir saja Kyuhyun meledak dalam tawa mendengar jawaban Hyori. Gadis itu bukannya merayu dengan berjanji untuk tidak mencakarnya, tapi justru memintanya mengenakan baju tebal saja. Bukankah dengan kata lain, gadis itu akan tetap mencakarnya lagi?

Kyuhyun semakin mengukuhkan gelar Hyori sebagai one girl in billion. “Tidak mau.”

Arasseo!” seru Hyori. “Aku akan mencoba mengajak Hyukjae oppa dulu. Jiyoo… yah, Choi Jiyoo itu akan kupikirkan nanti. Lebih baik menjinakkan yang lebih mudah dijinakkan saja.”

Jiyoo memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket ungunya. Memasuki bulan Desember, hembusan angin makin tak berperasaan. Jiyoo merutuk sambil menghangatkan tangannya. Sudah bulan Desember, tapi ia selalu mengenakan jaket tipis kesukaannya. Rasanya sia-sia saja ia menggerutu soal cuaca saat ia-lah yang justru membiarkan dirinya sendiri kedinginan. Langkahnya menjadi lebih cepat begitu tiba di koridor lantai dua, tempat dormnya berada.

Namun, langkahnya kemudian melambat saat menemukan Lee Hyukjae bersandar di depan pintu dormnya.

Lelaki itu mengenakan mantel panjang hitam. Lehernya dililit syal rajut berwarna merah dengan kombinasi warna hitam. Hyukjae tampak hangat. Jiyoo penasaran bagaimana rasanya menenggelamkan diri di bahu lelaki itu, dengan kedua otot bisep Hyukjae yang mengelilingi tubuhnya.

“Hai,” sambut Hyukjae. Cengiran lebar terukir di wajahnya, memberikan Jiyoo sebersit perasaan akrab. Ia melupakan rasa dingin yang membekukan tulangnya. Jika boleh berhiperbola, sudah sejak lama Jiyoo melupakan keberadaannya sendiri di depan lelaki ini. “Kau pulang malam?”

“Ada kelas tambahan,” ujar Jiyoo seringan mungkin. Ia mencoba untuk tak kelihatan seperti gadis kecil yang berbinar karena mendapatkan hadiah natal favoritnya. Tapi mau bagaimana lagi, Hyukjae bisa jadi semacam hadiah natal yang pantas untuk diberi tatapan dan wajah berbinar saat ini.

Jiyoo berjalan menuju Hyukjae sementara lelaki itu membiarkan Jiyoo berhadapan dengan pintu. Terdengar suara tombol-tombol kombinasi ditekan 6 kali sebelum pintu dorm terbuka. Jiyoo berjalan masuk lebih dulu, diikuti oleh Hyukjae. Gadis itu melepaskan sepatu kets bututnya, menggantinya dengan sandal rumah yang lembut dan hangat. Ia mengambilkan sepasang lagi sandal rumah berwarna sama untuk Hyukjae.

“Kau tidak bilang akan datang,” ucap Jiyoo. Bukan pertanyaan, memang, tapi ia tetap membutuhkan jawaban.

Hyukjae mengangkat bahu santai dan berjalan menuju sofa. “Ada undangan.”

“Undangan?” Jiyoo membeo. Ia meraih panci imut berwarna kuning muda, mengisinya dengan air dan menyalakan kompor. Ada kopi bubuk yang dibelinya minggu lalu. Ia pikir kopi akan membuatnya hangat dan mengabaikan pikiran soal pelukan, lengan bisep, dan yang utama, Hyukjae. “Apa dan dari siapa?”

“Undangan menonton film di bioskop dari Shinhyo.”

Alis Jiyoo terangkat, heran. Ia bersandar pada konter dapur dan menghadap Hyukjae sekarang. “Tumben. Film apa?” Kedua matanya menangkap sekilas respon yang aneh dari Hyukjae. Ia langsung merinding, dilanda oleh firasat buruk. “Tidak! Tidak! Bilang padanya, aku tidak mau!”

“Kau, kan, belum tahu apa yang akan kukatakan, Yoo…”

“Sekarang sudah!” sahutnya sengit. “Film horor, kan? Jangan coba-coba berbohong karena sudah pasti kau tidak bisa melakukannya. Jadi, saranku, tidak perlu repot-repot, Poo.”

“Selamat malam semuanyaaaa!”

“Ya Tuhan!” Hyukjae berseru, terkejut dengan kedatangan Hyori yang tiba-tiba. Gadis itu sudah berdiri di tepi pintu dan sedang berusaha melepaskan sepatunya. Hyukjae tak tahu pintunya belum terkunci. Atau mungkin sudah, tapi Hyori memang mengetahui kombinasi angkanya. Entahlah.

“Bukan Tuhan, sebenarnya. Cuma aku,” ujar Hyori santai. Gadis mungil itu membawa plastik yang, dikenali Hyukjae, berasal dari supermarket 24 jam di dekat dorm Jiyoo. Hyori tersenyum lebar ke arah Jiyoo –senyum lebar yang menakutkan, Hyukjae mencatat dalam hati. “Choi Jiyoo, uri Yoo, apa kabar?”

Jiyoo bergidik, sedikit ngeri dengan aura ‘ceria’ yang ditunjukkan oleh Hyori. Gadis itu hanya mengangguk singkat. “Apa yang kau bawa?”

“Ini?” Hyori mengangkat tas plastiknya ke udara. Samar-samar, Jiyoo bisa melihat warna merah muda dari balik plastik itu. Sepertinya ia mengenali benda yang dibawa Hyori. Hyori meletakkan tas plastiknya di atas konter dapur dan mengeluarkan isinya satu per satu. “Ini susu stroberi! Susu stroberi ukuran 200mL, 250mL dan 500mL.”

Sepasang manik Jiyoo yang sehitam arang mengerjap heran. Ia memandangi kotak-kotak merah muda berbagai ukuran yang dibawa Hyori. “Kenapa? Apa yang kau inginkan?”

Hyori melirik Hyukjae yang masih duduk tenang di sofa, kemudian ia tersenyum tipis. “Aku percaya kedatangan Hyukjae oppa sudah jelas bagimu, dan kedatanganku ke sini juga untuk memperjelas–“

“Jelaskan secara sederhana dan wajar saja!” potong Jiyoo.

“Oh, baiklah,” Hyori kembali tersenyum. “Jadi, aku ingin mengajakmu nonton film! Cho Kyuhyun akan membayar tiketnya kalau kau bersedia ikut. Hyukjae oppa juga sudah menyanggupi untuk menemanimu. Dan aku, aku akan membawakan susu-susu seperti ini setiap hari selama satu bulan penuh kalau kau bersedia. Bagaimana, Choi Jiyoo?”

Jiyoo mengerutkan kening. Gadis di hadapannya ini sudah gila. Lebih gila lagi saat ada sesuatu yang ingin didapatkannya. Jiyoo berbalik, meninggalkan Hyori dan mematikan kompornya. Ia menuangkan air panas pada sepasang mug keramik yang sudah berisi bubuk kopi. “Kau mau kopi, Hyo?”

“Aku mau kau ikut ke bioskop minggu depan, Yoo.” Hyori masih tersenyum, sama sekali tak berminat mengalihkan pembicaraan.

Dengan kedua tangannya, Jiyoo membawa sepasang mug itu ke sofa. Ia menyerahkan satu mug pada Hyukjae sebelum ia menjatuhkan tubuhnya di samping lelaki itu. Kedatangan Hyori membuat tubuhnya lebih dingin, jadi ia ingin berada di dekat Hyukjae untuk menghangatkan diri. Hyukjae mendekat, menempelkan lengannya pada lengan Jiyoo, seolah mengerti bahwa gadis itu memang menginginkannya.

“Yoo… Yoo… Yoo…”

Jiyoo menyesap kopi hangatnya dan mendesah lega. “Kau tahu aku tidak mau, Hyo.”

“Tapi ada Hyukjae oppa, pasti akan menyenangkan. Ya?”

“Tidak ada yang menyenangkan dengan berada di ruangan besar yang gelap dengan layar raksasa yang memiliki efek suara berlebihan, dan…” Jiyoo menekankan, “menampilkan film horor.”

“Ada!” seru Hyori dan Hyukjae bersamaan.

Jiyoo melirik Hyukjae dan menuntut jawaban. Lelaki itu meneguk kopinya dan tersenyum lemah. “Yah, kita bisa lebih banyak seperti ini.”

Jiyoo paham benar maksud Hyukjae. Seperti ini berarti Jiyoo berada dekat dengan Hyukjae, dengan panas tubuh masing-masing yang saling menghangatkan. Tak ada alasan untuk menolak hal itu, sebenarnya. Tapi Jiyoo sudah menentukan sikap. Ia tak mau berurusan dengan hal-hal yang membahayakan keselamatan jantung dan mentalnya sendiri.

Film horor bukan sesuatu yang benar-benar menyeramkan. Jiyoo tahu itu. Hanya saja, ada semacam efek tak menyenangkan yang selalu mengganggunya setelah itu. Jiyoo benci memiliki rasa paranoid yang berlebihan –segala perasaan itu sudah cukup menyusahkannya, jadi tak perlu ditambah dengan paranoid akibat film, juga.

Terkadang, ia akan penasaran pada beberapa film horor. Ia dilema. Harus menonton film itu atau tidak sama sekali. Walaupun ia tak suka memiliki perasaan paranoid, ia juga tak suka dibuat penasaran. Jadi, ia tetap akan menonton film yang diinginkannya… via sinopsis.

Melalui sinopsis, setidaknya Jiyoo akan tahu bagaimana film itu akan berakhir, atau di bagian mana saja yang menegangkan, atau apakah lebih baik ia tak perlu menontonnya sama sekali.

“Bagaimanaaa?”

Jiyoo mengerjap dan menemukan Hyori menatapnya dengan penuh harap. Hyori tak pernah memintanya menonton bersama untuk jenis film yang tak disukainya. Ia selalu pergi bersama teman-temannya yang lain. Dan itu tak menjadi masalah untuk Jiyoo. Lagipula, seperti katanya tadi, ia akan menghindari hal-hal yang bisa mengancam keselamatan jantung dan mentalnya. Tapi kali ini Hyori meminta.

Jiyoo ingin menolak.

“Tidak.” Dan akhirnya, Jiyoo menolak.

Hyori tertunduk lesu. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan iPhone putihnya. Pada Jiyoo, ia menunjukkan gambar kelinci –simbol B.A.P. “DVD Live on Earth Pacific Tour! Bi-ei-pi! Aku akan membelikannya untukmu.”

“Harganya hampir 50.000 won, Hyo. Kau tidak akan melakukannya.”

“Aku…” gumam Hyori. Kedua matanya berapi-api. “Aku akan membelikannya! Kalau kau mau ikut menonton film minggu depan.”

Taktik ini sudah dipersiapkan Hyori. Ia tahu Lee Hyukjae tak akan banyak membantu. Lelaki itu akan selalu menuruti Jiyoo dan mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh gadisnya. Tipe lelaki kesayangannya, tapi jelas tidak untuk saat-saat seperti ini. Hyukjae sama sekali tak berguna di sini. Padahal Hyori sudah menggodanya dengan topik skinship. Ada banyak skinship yang bisa dilakukan di bioskop, terutama saat film yang diputar adalah horor.

Tapi, lelaki itu bahkan tak bisa mempengaruhi Jiyoo. Hyukjae cenderung mendukung gadisnya.

Hanya ada satu cara yang tersisa. Hyori akan melihat, sebesar apa rasa suka Jiyoo pada B.A.P, apakah itu cukup untuk mengalahkan rasa paranoid Jiyoo terhadap film horor dan–

“Tidak.”

“A-apa kau bilang?” Tanpa sadar, tangan Hyori menjadi lemas dan menggantung di sisi kanan-kiri tubuhnya. “Ini… B.A.P, Yoo! Jung Daehyun! –dan yang lain-lain yang aku tidak tahu namanya.”

Jiyoo mengangguk. “Aku tahu.”

“Kenapa kau bilang tidak untuk B.A.P!?” tuntut Hyori.

“Dan kenapa kau pikir Jiyoo akan lebih berat pada B.A.P kalau aku saja tidak sebanding dengan film horor, Hyo?” sela Hyukjae tiba-tiba. Ia sudah tahu Hyori akan menggunakan cara seperti ini; cara-cara yang melibatkan B.A.P atau lelaki menyebalkan yang secara tak langsung menjadi rivalnya itu –Jung Daehyun. “Iya, kan, Yoo?”

“Pokoknya aku tidak mau.” Jiyoo menghabiskan kopi dalam mugnya.

Hyori benar-benar kehabisan ide. Namun, ia tak mau menyerah. Jiyoo bisa saja berkata tidak untuk malam ini, tapi malam-malam berikutnya –sebelum penayangan perdana film dimulai, Jiyoo harus berkata iya. Hyori mengambil kembali tas plastik belanjaannya dan meninggalkan dorm Jiyoo tanpa banyak berkata-kata –dan ini juga salah satu taktik agar Jiyoo merasa bersalah. Hyori paham benar bahwa Jiyoo adalah anak yang cukup perasa dan, meskipun ia tak tega, ia tetap melakukan taktik ini.

Pintu dorm tertutup, menelan punggung Hyori. Hyukjae merangkul bahu Jiyoo. “Jangan dipikirkan. Dia pasti menyerah.”

“Kurasa tidak,” gumam Jiyoo.

“Jujur padaku.”

“Apa?”

“Kenapa tidak menerima tawaran Hyori yang terakhir? Apa… sekarang posisiku sudah ada di atas anak-anak itu?” tanya Hyukjae. Ini memang hal sepele, cenderung tak penting, tapi Hyukjae perlu memastikannya. Biasanya, Jiyoo akan menukarkan apa pun demi anak-anak itu –B.A.P.

“Mungkin saja, mungkin juga tidak,” Jiyoo tersenyum kecil. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Hyukjae. “Tapi… kupikir aku tidak memerlukan DVD itu.”

Kedua mata Hyukjae berbinar senang. “Benarkah?”

“Karena aku baru saja melakukan pre-ordernya tadi siang.”

The next day

Shin Hyori sedang kesal. Kyuhyun bisa melihat itu dari raut wajah kusut gadisnya. Ia tak pernah mempermasalahkannya, sebenarnya. Hyori bebas mengekspresikan apa saja yang memang sedang dirasakan olehnya. Kyuhyun tak pernah merasa keberatan, karena biasanya perasaan Hyori yang berubah-ubah tak mengganggunya.

Kali ini rupanya berbeda.

Kyuhyun harus benar-benar memusatkan perhatiannya pada Hyori agar gadis itu tak menemukan celah untuk mengomelinya. Penayangan perdana The Dead One akan dilakukan sekitar sepuluh hari lagi dan Hyori belum berhasil mengajak Jiyoo setelah usaha kerasnya semalam. Kyuhyun tak mengira gadis itu akan gagal. Ia menganggap Hyori sudah memiliki bala bantuan dan segala strategi yang sempurna untuk membujuk Jiyoo; Lee Hyukjae, susu stroberi dan B.A.P. Tentu saja, kegagalan ini menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan.

Kecuali, jika memang Choi Jiyoo tak memiliki hal lain yang dianggap cukup berharga untuk menggantikan rasa paranoidnya terhadap film horor.

“Aku tahu taktikmu yang membawa Lee Hyukjae dan susu stroberi itu ada kemungkinan untuk gagal,” gumam Kyuhyun. “Tapi untuk–“

“Benar, kan!? Tidak masuk akal. Selama ini, Jiyoo tidak pernah menolak apa pun yang berhubungan dengan anak-anak itu!”

Kyuhyun menghela napas panjang, memaklumi Hyori karena memotong ucapannya. “Kau sudah menyerah?”

“Belum! Tidak akan!” sahut Hyori nyaring. “Tadinya, aku ingin membiarkan Jiyoo dengan segala keputusannya, tapi kalau begini, aku jadi merasa semakin tertantang. Aku akan membuat Jiyoo ikut bersamaku, duduk di sampingku dan selama dua jam di studio bioskop yang gelap!”

Kyuhyun memutar bola matanya. Sekarang, tampaknya Hyori mulai melupakan niat awalnya untuk memaksa Jiyoo menonton film bersamanya. Gadis itu seperti benar-benar penasaran dengan alasan kegagalannya. “Lalu, kau mau apa?”

“Cho Kyuhyun,” panggil Hyori pelan. Ia melayangkan tatapan memelas pada lelaki itu. “Bantu aku. Biasanya kau bisa menangani Jiyoo, kan?”

Biasanya?” Kyuhyun mengulang ucapan Hyori dengan alis terangkat.

Hyori berdecak kesal. Ia lupa terkadang Kyuhyun bisa menjadi laki-laki setan kuadrat –lelaki dengan tingkat kesetanan yang lebih tinggi dibandingkan hari biasa. “Iya, iya. Maksudku, selalu. Kau, kan, selalu bisa menangani Jiyoo. Sekarang bantu aku~”

Kyuhyun tersenyum puas sejenak sebelum melipat kedua tangannya di depan dada. Ucapan Hyori tentangnya yang selalu bisa menangani Jiyoo memang benar, tapi itu tak berarti ia bisa menangani semua hal yang berhubungan dengan Jiyoo. Ada kalanya Jiyoo lebih membutuhkan Hyukjae atau mungkin Hyori sendiri.

Dan, untuk kasus film horor ini, Kyuhyun tak memiliki ide apa pun.

Tadinya ia berpikir, Hyori bisa saja memprovokasi Jiyoo. Sebagian besar perempuan tak suka dengan persaingan dan jika Hyori bisa mengolok-olok Jiyoo yang menjauhi film horor, mungkin jiwa kompetitif Jiyoo akan bangkit. Kalau sudah begitu, Jiyoo sendiri yang pasti akan memaksa ikut ke bioskop dan duduk tenang demi membuktikan pada Hyori jika ia bukanlah perempuan penakut. Cara ini bisa jadi rencana yang sempurna…

Dengan catatan, targetnya bukan Jiyoo.

Kyuhyun mendesah berat. Ia paham benar bahwa Jiyoo bukan gadis yang mudah diprovokasi. Gadis itu akan lebih suka pasrah, dianggap persis seperti apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya daripada termakan provokasi orang lain. Sifatnya yang seperti itu, menurut Kyuhyun, cukup baik. Karena itu tandanya Jiyoo tak akan sembarangan mengambil tindakan dan bisa tetap tenang dalam kondisi apa pun.

Namun, Kyuhyun berharap, sifat Jiyoo yang itu menghilang di saat seperti ini.

“Ah!” seru Hyori tiba-tiba. Kyuhyun yang terkejut langsung memelototi gadis mungilnya. “Taruhan!”

“Hah?”

Hyori menatap Kyuhyun dengan kedua mata berbinar. Gadis itu tampak seperti seorang ilmuwan yang baru saja menyelesaikan penelitiannya yang panjang. Hanya saja, penelitian seorang Shin Hyori sekedar berpusat pada gadis yang menghindari film horor. “Aku bisa meminta Jiyoo bertaruh, melakukan apa saja yang paling tidak disukainya dan kalau dia tidak bisa, dia akan ikut ke bioskop.”

“Tidak akan berhasil.” Kyuhyun berkata dengan yakin hingga Hyori mengerutkan kening.

“Kenapa tidak?”

Kyuhyun mengangkat tangannya, tak tahan untuk tak mencubit pipi kiri Hyori. Ia mengabaikan tatapan tajam dari gadis itu dan berkata, “Pikirkan lagi. Ingat-ingat bagaimana sifat Jiyoo. Kau pikir dia akan dengan senang hati ikut bertaruh denganmu jika kau akan membuatnya melakukan hal yang tidak disukainya? Kurasa, sepanjang aku mengenal Choi Jiyoo, dia akan memilih untuk tidak ikut sama sekali.”

“Lalu aku harus bagaimanaaa?” Hyori merajuk.

“Idemu bagus, sebenarnya,” ucap Kyuhyun. “Tukar posisinya.”

“Eh?”

Kyuhyun tersenyum miring. Hyori bergidik, merasakan udara dingin membelai tengkuknya. Ia yakin, Kyuhyun punya ide yang bagus. Dan gila. Dan akan melibatkan dirinya dalam masalah. “Biarkan dia bertaruh kau tidak akan bisa melakukan sesuatu yang dia minta. Dan tugasmu, lakukan apa pun yang dimintanya.”

Hyori benar. Ide Kyuhyun benar-benar bagus dan gila dan memang membuatnya berada dalam masalah.

11:08 AM – Jiyoo’s dorm

“Kau pasti bercanda.”

Jiyoo mengerutkan kening. Kedua matanya masih tertuju pada Hyori yang justru tak tampak bercanda. Kali ini Jiyoo mengerjap takjub. Tawaran Hyori memang menggiurkan. Sekaligus sederhana. Gadis itu akan melakukan apa pun yang Jiyoo minta. Jika Hyori tak sanggup memenuhinya, Jiyoo menang. Ia bebas untuk menolak ajakan Hyori ke bioskop. Masalah berakhir dengan damai dan Jiyoo dapat ceria kembali.

Tapi, jika Hyori berhasil, Jiyoo harus ikut ke bioskop dan membahayakan kesehatan mentalnya dengan duduk manis di depan layar raksasa yang menampilkan mayat-mayat hidup berwajah jelek.

Kemungkinannya 50:50, pikir Jiyoo. Ia bisa saja menolak segala bentuk permainan yang coba ditawarkan oleh Hyori, tapi ada sejumput hasrat di benaknya untuk mengerjai temannya itu. Ada satu hal yang ingin dicobanya pada Hyori. Sesuatu yang sama sekali bukan kesukaan Hyori.

“Aku serius, Yoo,” ujar Hyori yakin. “Apa saja. Seperti Truth or Dare, tapi kita hanya akan melakukan Dare. Aku gagal, kau menang. Dan sebaliknya. Mudah dimengerti, kan?”

Memang, Jiyoo menjawab dalam hati. “Apa kau memang sangat, sangat ingin menyeretku ke bioskop?”

“Aku akan memberimu pelajaran untuk menjadi gadis pemberani.”

“Jangan konyol. Keberanian tidak diukur dari genre film kesukaan.” Jiyoo memutar bola matanya acuh tak acuh. Detik berikutnya, ia melirik Hyukjae yang berdiri dan menunggu di samping Kyuhyun. “Aku sedang tidak dalam keadaan ingin melakukan taruhan.”

Hyukjae mengangkat bahu. “Kalau begitu, jangan. Tapi, Yoo, kau tidak rugi apa-apa.”

“Itu kalau aku menang,” imbuh Jiyoo. Ia benci sekali mengambil resiko besar. Terutama, jika resiko itu bisa berdampak tak menyenangkan untuknya.

“Aku tidak tahu kalau kau sering kehilangan rasa percaya diri, Yoo,” tambah Kyuhyun. Lelaki itu tersenyum samar sementara Jiyoo memandangnya tak peduli. Jiyoo yakin Kyuhyun hanya sedang berusaha memancingnya untuk mempertaruhkan keberuntungan miliknya.

“Lupakan saja. Aku tidak mau berurusan dengan film horor mana pun.”

Memang begitu. Jiyoo, sebisa mungkin, akan menghindari film horor di bioskop. Beberapa seri film horor –atau thriller, entahlah- yang ditontonnya di bioskop hanya Final Destination 1 hingga 5. Ia tak menyukai ketegangannya, tapi tetap menonton film itu. Anehnya, ia tak memiliki ketertarikan yang sama pada film horor lainnya.

“Setidaknya, hargai usaha Hyori. Dia sudah membulatkan tekad untuk mengajukan ide taruhan ini,” ucap Hyukjae.

Jiyoo menggerutu. “Lee Hyukjae.”

“Kau pasti berpikir seperti itu juga, kan?”

“Iya, memang, tapi–“

“Nah!” potong Hyori. Wajahnya tampak berseri-seri. Sama sekali bukan wajah orang yang baru saja mengorbankan diri untuk dikerjai. “Jadi, apa yang kau inginkan?”

1:22 PM

Hyori menelan ludah. Hidungnya kembang-kempis mencari udara yang lebih bersih untuk dihirup. Namun sia-sia. Oksigen yang masuk melalui hidungnya membawa aroma amis khas ikan dan aroma aneh lain dari nori. Hyori tak percaya bahwa ia baru saja menjebak dirinya sendiri. Seharusnya ia tahu bahwa Jiyoo akan memilih hal ini. Ia tahu, tapi seolah tak mau tahu.

Seumur hidup, ia tak menyukai sushi. Makanan khas Jepang itu selalu membuatnya mual. Semua hal, dari yang terkecil sekali pun dari sushi, membuat Hyori tak bisa menyukai makanan itu. Ikannya yang mentah, nori hijau yang, menurutnya, beraroma aneh. Semuanya.

Ia melirik Jiyoo di sampingnya. Gadis itu justru mengendus-endus, menikmati segala aroma yang menguar dari warung Jepang mungil yang berjarak lima blok dari dormnya. Beda dengan Hyori, Jiyoo sangat menyukai sushi. Secara lebih spesifik, Jiyoo menyukai masakan Jepang, sebenarnya. Apa pun itu; sushi, ramen, takoyaki, katsudon. Jiyoo selalu mencoba menularkan hobinya pada Hyori, namun tak pernah benar-benar berhasil. Jika ia ingin mencoba lagi –menjejali Hyori dengan sushi, inilah saatnya.

“Yang matang,” ujar Hyori mengingatkan.

Jiyoo hanya mengangguk sekenanya. Pandangannya sudah terpaku pada menu. Ia memperhatikan gambar-gambar sushi yang tercetak di sana. Selalu seperti ini. Jiyoo selalu ingin memesan semua jenis sushi yang ada. Ia menelan ludah tanpa sadar sementara Hyori masih bergidik dan terganggu dengan aroma-aroma yang ada di warung itu.

“Kau suka gurita, kan?” tanya Jiyoo.

“Gu– apa? TIDAK!” Hyori meninggikan volume suaranya. Ia melotot ke arah Jiyoo. “Jangan samakan seleraku dengan seleramu. Yang biasa saja.”

Jiyoo tampak kecewa dan mengalihkan pandangannya ke nama lain di buku menu. Tako Roll adalah favoritnya dan sekarang ia tak bisa memesan itu untuk Hyori. Jika Hyori gagal, setidaknya Jiyoo akan bisa memakan sisanya. Ia tak keberatan. Ia menyukai sushi.

“California Roll?” tanya Jiyoo lagi. Sepasang alis Hyori terangkat. Kali ini ia menunjukkan rasa ingin tahu.

Hyori mendekat dan mengintip buku menu yang menampilkan gambar California Roll. Ia membaca komponen apa saja yang menyusun sushi itu dengan seksama. Sepertinya tak ada yang aneh. Hyori tak membaca nama ikan aneh apa pun di sana. Namun, tetap saja ia harus berurusan dengan nori. Benda hijau itu memang tak terlihat menjijikkan, hanya berupa lembaran rumput laut yang digunakan sebagai penggulung sushi selain nasi, tapi Hyori tak menyukainya. Sekali lagi, aromanya aneh.

“Um… boleh,” sahutnya. Hyori berusaha terdengar percaya diri dan santai. Ia tak boleh menunjukkan pada Jiyoo kalau ia takut atau ragu.

Jiyoo memesan California Roll untuk Hyori dan Tako Roll untuk dirinya sendiri. Pandangannya menyapu sekeliling, pada orang-orang yang duduk dan memegang sumpit masing-masing. Tempat ini jelas bukan tempat kesukaan Hyori, Jiyoo mengakui. Ia melirik gadis itu. Hyori tampak enggan, sekilas terlihat gugup –entah pada apa.

“Kita bisa membatalkan taruhan dan pulang,” ujar Jiyoo. “Tidak perlu terlalu berusaha begini. Kau bisa ke bioskop bersama Kyuhyun oppa. Dan Poo, kalau kau mau.”

Temannya menggeleng dan Jiyoo sudah tahu itulah jawaban yang akan didapatkannya. “Aku sudah di sini. Kita tetap menjalankan taruhan.”

“Terserah kau saja,” Jiyoo menghela napas berat. “Harus habis.”

Untuk sekilas, Jiyoo melihat Hyori sedikit bergidik. “Um…” Satu irisan sushi saja belum tentu bisa ditelannya, apalagi satu porsi. Taruhan ini memberatkannya. Ini pasti tak akan mudah. Sepertinya ia akan kalah. Setidaknya ia akan berusaha untuk tak memuntahkan sushi di warung ini. Usaha seperti itu saja sudah patut diapresiasi, menurut Hyori.

Ia pasti akan menyesali ini seumur hidupnya.

5:28 PM – Hyori’s dorm

Kyuhyun menoleh ke arah kamar mandi. Pintunya masih tertutup. Pemandangan itu masih sama seperti yang dilihatnya per 20 detik. Ia mendesah berat. Hyori menyuruhnya pergi saat gadis itu dan Jiyoo melaksanakan taruhan mereka. Menghindari luka mental, katanya. Kyuhyun mendengus. Memangnya apa yang bisa terjadi kalau ia menyaksikan dua gadis itu taruhan?

Mungkin Hyori tak ingin Kyuhyun melihatnya pucat seperti ketika ia mendapati gadis itu tampak lemas di dormnya. Sekali lagi, Kyuhyun mendengus. Hyori nekat melakukan taruhannya. Kyuhyun sendiri yakin Jiyoo memberikan tantangan yang sama sekali bukan keahlian Hyori. Ternyata benar. Seporsi sushi. Bagi Jiyoo atau Kyuhyun, mungkin itu tak masalah. Tapi untuk Hyori –dan kadang Hyukjae, seporsi makanan berwujud nasi yang gulung itu bisa berdampak buruk.

Seperti saat ini, yang terjadi pada Hyori.

“Kau baik-baik saja?” tanya Kyuhyun –entah sudah berapa kali ia menanyakan hal itu.

“Tidak!” sahut Hyori dari dalam kamar mandi, disusul dengan suara siraman kloset. Kyuhyun bergidik membayangkan Hyori memuntahkan semua sushi yang dimakannya siang tadi. Pintu kemudian terbuka. Hyori muncul dari dalam kamar mandi. Wajahnya tak sepucat saat Kyuhyun melihatnya 15 menit yang lalu.

“Apa yang kau makan?”

Hyori mendarat di atas sofa. Kepalanya bersandar sementara kedua matanya ditutup dengan sebelah lengannya. “Sesuatu dari San Fransisco.”

“Ha?”

“Atau Canada? Pokoknya negara bagian di Amerika sana. Padahal kukira sushi itu makanan Jepang.”

Kyuhyun mengernyitkan alis. Gadis di sampingnya ini pasti hanya bercanda. “California Roll?”

“Oh, dari California? Iya, sepertinya itu namanya,” sahut Hyori asal-asalan.

“Aku tidak akan berkomentar,” gumam Kyuhyun. Sepertinya California Roll sudah merusak fungsi kerja otak Hyori. Atau justru memang beginilah kerja otak gadisnya? Kyuhyun menolak memilih. Ia berdiri dan menuju dapur untuk mengambil segelas air mineral. Gelas itu kemudian disodorkan pada Hyori. “Minum.”

Hyori mencibir dalam hati, Cho Kyuhyun suka sekali memerintah orang lain. Air segar membasahi kerongkongannya hingga ia mendesah lega. Setelah mengeluarkan seluruh isi perutnya, segelas air mineral benar-benar membantu membuat Hyori merasa lebih baik. Pengalaman menelan sushi dari California itu tak termasuk ke dalam daftar pengalamannya yang menyenangkan. Ia masih bisa mengingat rasa getir dan amis di rongga mulutnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjauhi makanan itu selamanya.

Tidak ada lagi tindakan nekat yang ekstrem dan bertolak belakang dengan prinsip hidup.

“Sayang sekali ya,” ujar Kyuhyun pada Hyori. “Kau sudah makan sushi tapi tidak berhasil memaksa Jiyoo ke bioskop.”

Hyori mengerjap heran. “Um… tidak. Jiyoo akan ikut bersama kita. Aku menghabiskan delapan irisan sushi. Dia kalah taruhan.”

5:28 PM – Jiyoo’s dorm

Jiyoo membungkus tubuhnya dalam selimut. Seperti kepompong, ia menyembunyikan kepalanya juga. Hyukjae mengamati Jiyoo yang bergerak-gerak di bawah selimut sambil menahan senyum. Ia bersandar di salah satu sisi dinding kamar Jiyoo. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Jiyoo melarangnya untuk datang, namun Hyukjae terlalu penasaran dengan hasil taruhan Jiyoo dan Hyori tadi siang.

Melihat Jiyoo yang tak membukakan pintu untuknya –Hyukjae terpaksa masuk dengan menekan sendiri tombol kombinasi dorm Jiyoo, lelaki itu tahu bahwa gadisnya harus menghabiskan waktunya besok lusa bersama para mayat hidup di bioskop. Tapi, berbeda dengan bayangan Hyukjae, Jiyoo tak terlihat sangat syok. Ia mengira Jiyoo kalap, tak percaya bahwa ia kalah taruhan dan mengomel seperti biasanya saat ia kesal.

Mungkin, Hyukjae berpikir, Jiyoo sendiri tak ingin Hyori kalah.

Hyukjae tahu bentuk taruhannya adalah sushi. Dan, seperti Hyukjae, Jiyoo juga paling mengerti bahwa Hyori bukan penggemar makanan itu. Jadi, menurut Hyukjae lagi, seandainya Hyori hanya berhasil menelan satu iris pun, Jiyoo akan tetap mengaku kalah. Hyukjae cukup terenyuh dengan sifat Jiyoo yang satu itu. Terenyuh sekaligus simpati.

Karena Jiyoo akan mudah mengalah, lalu dimanfaatkan, dan akhirnya dibuang.

Berlebihan, Hyukjae merutuk diri. Jiyoo hanya akan begitu pada orang-orang yang cukup peduli dan dipedulikannya. Di luar itu, Jiyoo hanyalah gadis yang angkuh dan tangguh. Dan… sering menyesali diri seperti–

“Hyori pasti memuntahkan sushinya! Seharusnya itu tidak dihitung sebagai kemenangan! Seharusnya aku yang menang… Iya, kan?” gumam Jiyoo memelas.

Hyukjae tersenyum simpul, sadar bahwa Jiyoo tak akan bisa melihatnya dari bawah selimut. “Tapi kau sudah mengakui kekalahanmu. Itu, kan, juga sudah dihitung.”

“Memang, sih.” Jiyoo semakin meringkuk seperti bayi. “Aku tidak mau pergi…”

“Kau bukan orang yang suka melanggar janjimu sendiri, Yoo,” sahut Hyukjae. Ia tahu Jiyoo benar-benar tak ingin pergi, tapi ia juga tak ingin membuat Jiyoo menjadi seseorang yang bukan dirinya. Jiyoo, yang dikenalnya, adalah seseorang yang selalu menepati janji. “Hanya dua jam, kan? Bahkan mungkin kurang dari itu. Kau bisa memejamkan mata selama film diputar.”

Kepala Jiyoo mengintip keluar dari selimut. Rambut Jiyoo berantakan, membuat tangan Hyukjae gatal untuk merapikan rambut gadis itu untuknya. “Kau juga ikut, kan?”

“Iya.”

“Baiklah,” Jiyoo menghela napas panjang. Ia beringsut, menyeret tubuhnya untuk duduk bersila di atas ranjang. Wajahnya tetap lesu. “Kadang-kadang, aku benci diriku sendiri.”

D-day [Dec 18, 2013] – at 21

Oppa, ada di mana?”

Hyori mengambil sekotak popcorn bawang yang dipesannya. Tangan kirinya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga sementara tangannya yang bebas menenteng kotak popcorn. Ia sudah berada di dalam bioskop. Dengan susah payah, ia berhasil membuat Kyuhyun membawanya ke bioskop lebih awal. Lelaki itu mengomel, tentu saja. Tapi Hyori mengabaikannya. Pemutaran perdana adalah saat-saat yang berharga baginya.

Ia melirik Kyuhyun yang masih sibuk memesan minuman saat Hyukjae menjawab di ujung sambungan. “Kami akan segera naik. Tiketnya?”

“Sudah dipesan Kyuhyun dari kemarin,” sahut Hyori bangga. Ia kemudian menyipitkan mata. “Bukankah Oppa juga membeli beberapa?”

“Beberapa,” Hyukjae mendengus geli. “Iya, beberapa.”

Hyori tertawa. Jika Jiyoo mendengar pembicaraan ini, ia pasti tak akan mengerti. Tapi Hyori mengerti. Sepertinya Kyuhyun juga. Mereka selalu dibuat takjub oleh kenekatan –dan keluguan Hyukjae. “Baiklah, cepat ke sini!”

“Mereka sudah datang?”

Kyuhyun sudah berdiri di sampingnya. Hyori menggeleng pelan. Sepasang matanya, sesekali, mengamati Kyuhyun. Lelaki itu mengenakan kemeja di dalam sweater lengan panjang bermotif abstrak berwarna putih. Sebuah jaket membungkus tubuhnya. Hyori mengingat jaket berwarna hitam polos itu sebagai hadiah darinya di perayaan 600 hari mereka. Selera fashion Kyuhyun, menurut Hyori, sama sekali tidak buruk. Cenderung bagus, sebenarnya.

Hyori tahu ini konyol, tapi ia tak pernah terbiasa dengan sosok Kyuhyun. Kyuhyun yang begini, Kyuhyun yang begitu. Semuanya tak pernah biasa. Bahkan, aroma parfum lelaki itu tak bisa membuat Hyori santai di dekat Kyuhyun. Selalu ada sensasi aneh yang membuat kedua lutut Hyori lemas.

“Aku tampan sekali ya?”

“Ha?” Hyori memandang Kyuhyun dengan sengit. Mungkin, satu-satunya hal yang menahan Hyori untuk melayangkan macam-macam kalimat cinta pada Kyuhyun adalah pemujaan lelaki itu yang terlalu tinggi pada dirinya sendiri. “Kau sedang bermimpi?”

Sebelum Kyuhyun sempat membalas, Hyukjae melambaikan tangan ke arahnya dan Hyori. Hyukjae menggenggam tangan Jiyoo –sekilas tampak seperti menyeret karena Jiyoo melangkah dengan enggan dan super pelan. “Jam berapa filmnya?” tanyanya.

“Dua puluh menit lagi,” jawab Kyuhyun dengan lirikan kilat ke arah jam tangannya. Ia memiringkan kepala untuk menatap Jiyoo. “Kau baik-baik saja, Yoo?”

Jiyoo terlihat menelan ludah. “Iya.”

“Kau mau pulang?” tanya Kyuhyun lagi.

“Tidak. Aku baik-baik saja,” Jiyoo berusaha tersenyum santai walaupun semua orang, kecuali dirinya, bisa melihat kegetiran dari pantulan matanya. “Kita masuk sekarang?”

Studio 4 terletak di paling ujung koridor bioskop. Saat ini, bagi Jiyoo, koridor itu tampak seperti koridor menuju neraka. Ia tak pernah sepanik ini ketika berada di bioskop. Biasanya, bioskop adalah tempat yang disukainya. Namun kali ini, rasanya ia ingin segera meninggalkan tempat ini. Jiyoo memandang punggung Hyori yang berjalan di depannya. Gadis itu tertawa saat mengobrol dengan Kyuhyun. Jiyoo mendadak iri dengan keceriaan Hyori.

“Setelah ini selesai, kita bisa mencari tempat untuk melepas stres,” kata Hyukjae di sampingnya. Lelaki itu masih menggenggam tangannya, tapi Jiyoo seakan mati rasa. “Tanganmu dingin.”

Jiyoo hanya mengangguk. Biasanya ia yang membuka pembicaraan, tapi sekarang untuk membalas kata-kata Hyukjae saja rasanya ia tak sanggup. Benar-benar payah, Jiyoo memaki dirinya sendiri. Ini hanya film horor dan kadar paranoidnya seolah sudah mencapai puncak. Jika Hyukjae tak menggenggam tangannya, Jiyoo yakin ia bahkan tak akan sanggup berjalan sendiri.

Seorang pekerja bioskop wanita berjaga di depan pintu studio 4. Jiyoo melihat Kyuhyun menyerahkan 4 lembar tiket untuk dirobek. Ia juga menyadari Hyukjae menyerahkan sesuatu pada si penjaga studio, tapi pandangan Jiyoo terhalang oleh bahu Hyukjae. Dan lagipula, ia juga tak penasaran. Jiyoo sudah kehilangan rasa ingin tahunya begitu melihat poster film yang dipajang di dinding di samping pintu studio.

Studionya sudah gelap. Jiyoo harus berusaha keras membiasakan pandangannya dengan cahaya yang minim seperti ini. Usahanya tak benar-benar berhasil. Ia pasrah dan membiarkan Hyukjae menuntun langkahnya.

Hyukjae menaiki anak-anak tangga dan membuat Jiyoo menebak-nebak posisi kursi yang dipesan oleh Kyuhyun. Pasti cukup di atas. Tempat yang strategis, sebenarnya. Jiyoo tak akan begitu bisa melihat ke layar karena ia sendiri sengaja meninggalkan kacamatanya di atas meja belajar. Dengan begitu, setidaknya ia bisa mengurangi dampak buruk psikologis yang disebabkan oleh paranoidnya.

Pada anak tangga terakhir yang harus dinaikinya, rasa panik semakin melanda Jiyoo. Pada anak tangga terakhir ini, ia akan duduk selama 2 jam dan terjebak dengan para zombie. Pada anak tangga terakhir ini pula, ia harus memutuskan apakah ia akan menonton film ini atau ia hanya akan sekedar menutup mata sepanjang pemutaran film.

Pikiran-pikiran itu menyerangnya seperti ombak yang bergulung-gulung. Jiyoo nyaris tersandung undakan anak tangga di depannya. Sekali lagi, untung saja Hyukjae menggenggam tangannya. Jiyoo baru saja terhindar dari tindakan yang akan mempermalukan dirinya di studio bioskop. “Yoo?”

“Aku baik-baik saja,” ujarnya. Jika sejak tadi ia tak menyadari seberapa gugup dirinya, kali ini ia tahu. Suara Jiyoo terdengar bergetar, bahkan di telinganya sendiri.

“Hyukjae oppa yang paling ujung, lalu Jiyoo, dan aku, sementara Kyuhyun yang paling luar,” jelas Hyori di samping deretan kursi merah bioskop.

Hyukjae masih menuntun jalan untuk Jiyoo saat melewati kursi-kursi merah. Lelaki itu duduk di deretan keempat dari koridor kecil studio. Jiyoo mengambil tempat ketiga, persis seperti yang diintruksikan oleh Hyori. Ia melirik kanan-kiri. Posisinya akan seperti ini untuk dua jam berikutnya. Ia akan diapit oleh Hyukjae dan Hyori sementara Kyuhyun menjadi gerbang jalannya jika seandainya ia harus keluar.

Dan, jika seandainya Jiyoo berencana untuk kabur pun, formasi seperti ini jelas menunjukkan kemungkinan 0% untuk melarikan diri.

Jiyoo memejamkan mata frustasi. Entah siapa yang sudah merencanakan posisi seperti ini, tapi posisi ini jelas tak menguntungkan Jiyoo. Begitu ia membuka mata, ia langsung melirik Hyori. Mungkin sebenarnya ia sudah tahu siapa dalang yang mengatur posisi duduk mereka berempat. Oh, betapa ia membenci Shin Hyori saat ini.

Gadis dalam pikiran Jiyoo –Shin Hyori- itu tiba-tiba menggenggam tangan Jiyoo. Sebenarnya, itu bukan genggaman –tak ada genggaman tangan yang cenderung memaksa seperti yang dilakukan Hyori saat ini. Hyori sengaja menahan tangan Jiyoo, dengan sangat kuat, agar tetap berada di pegangan kursi. Temannya itu ingin Jiyoo tetap duduk manis di kursinya tanpa akal-akalan untuk kabur.

Hyori hanya tersenyum walaupun Jiyoo sudah melayangkan sorot mata lasernya. “Kita akan berpegangan tangan hingga akhir film,” kata Hyori santai.

“Aku tidak akan kemana-mana. Lepaskan tangamu!” seru Jiyoo. Ia bergidik saat udara pendingin ruangan membelai tengkuknya yang telanjang. Seharusnya ia membiarkan rambutnya tergerai saja daripada kedinginan di sini.

“Tidak mau.” Hyori menggelengkan kepala. “Nikmati saja movie date kita.”

Jiyoo hendak menyahut, tapi Hyori sudah mengabaikan dirinya. Gadis itu justru sudah sibuk mengobrol bersama Kyuhyun. Jiyoo hanya bisa menghela napas kesal. Selama dua jam ke depan, ia benar-benar terjebak bersama para mayat hidup dan, yang lebih seram lagi, Hyori.

5:40 PM

Film baru berlangsung selama 40 menit dan dalam 30 menit di antaranya, Jiyoo selalu berusaha memejamkan mata rapat-rapat. Di awal film, ia dikejutkan oleh adegan zombie wanita yang menyerang manusia. Zombie itu tampak asli. Bibirnya robek memanjang hingga gusinya yang hitam terlihat. Kulit-kulit wajahnya terkelupas dan bergelambir, memamerkan daging kemerahan. Cara berjalan zombie wanita itu juga aneh. Kakinya seperti patah dan bengkok ke arah yang salah.

Jiyoo benci sekali jika perkembangan dunia make-up dan akting terlalu pesat.

Ia berteriak di adegan-adegan awal; zombie yang mematahkan leher seorang manusia, memecahkan tengkoraknya dan menggerogoti otak serta jantungnya. Jiyoo mual. Ia merasa luar biasa bodoh dengan berada di studio ini. Dengan sebelah tangan ditahan oleh Hyori, Jiyoo tak bisa menutup mata dan telinganya secara sempurna.

“Kau tidak perlu menonton semuanya,” bisik Hyukjae di telinganya. Padahal itu hanya suara Hyukjae, tapi Jiyoo nyaris melompat dari kursinya karena terkejut. Semua hal remeh bisa mengejutkannya di saat-saat seperti ini.

Jiyoo balas berbisik, “Aku memang tidak mau.”

Ia kembali terkejut saat Hyukjae meraih tangannya. Lelaki itu terdengar seperti mendengus geli. Jiyoo sendiri tak yakin oleh apa; ketakutannya yang konyol atau karena zombie yang mengecewakan, menurut Hyukjae. “Tanganmu dingin sekali. Mau jaketku?”

Jiyoo lupa bahwa Hyukjae mengenakan jaket denim. Jaket itu menutupi t-shirt dan kemeja kotak-kotak yang membungkus tubuhnya. Biasanya Jiyoo tak pernah meragukan gaya berbusana Hyukjae. Ia hanya sedikit menyesal kenapa ia tak menyempatkan diri untuk mengapresiasi penampilan lelaki itu hari ini.

Gambaran sosok Hyukjae mulai terbentuk di benaknya. Hyukjae yang berdiri tegap dengan sorot mata malas. Senyuman simpul lelaki itu terlukis di wajahnya. Segala jenis pakaian yang dikenakannya akan selalu terlihat cocok. Bentuk tubuh Hyukjae sempurna. Seakan-akan bukan dirinya yang perlu menyesuaikan diri dengan pakaian yang dikenakannya, tapi justru pakaian-lah yang menyesuaikan diri dengan bentuk tubuh lelaki itu.

Semakin lama, gambaran tentang Hyukjae menjadi semakin jelas.

Rambut cokelat terang lelaki itu acak-acakan sekaligus tampak tertata. Jiyoo sendiri tak mengerti bagaimana lelaki itu melakukannya pada Jiyoo; selalu memunculkan dua kata yang saling berlawanan untuk mendeskripsikan dirinya.

“Yoo?”

Suara Hyukjae terdengar lebih jelas di telinganya. Jiyoo menghilangkan pikiran-pikiran konyol dalam kepalanya dan mengangguk. Ia bisa membayangkan wajah puas Hyukjae saat tawarannya diterima. Lelaki itu menyampirkan jaketnya terbalik di tubuh Jiyoo. Hanya ada satu tangan yang bisa Jiyoo masukkan ke lengan jaket itu –sebelah tangannya masih ditahan oleh Hyori.

Tak ada perbedaan berarti yang bisa ditawarkan sang jaket denim. Tentu saja, selain aroma maskulin Hyukjae yang sekarang justru memenuhi rongga hidungnya. Tiap Jiyoo menarik napas, aroma itu akan ikut masuk dan membuat Jiyoo meleleh di kursinya. Kabar baiknya, Jiyoo tak terlalu memperhatikan film; adegan menakutkan atau efek suara mengejutkan yang berasal dari dinding studio.

Pandangannya berubah gelap. Jiyoo mengerjap –bukti bahwa ia sendiri tak sedang memejamkan mata. Ada yang menghalangi pandangannya.

“Begini lebih baik?”

Jiyoo menoleh ke arah Hyukjae. Melalui cahaya temaram studio, ia bisa melihat senyuman lelaki itu. Jiyoo baru sadar bahwa sesuatu yang menghalangi pandangannya adalah tangan Hyukjae. Telapak tangan lelaki itu terbuka tepat di depan matanya. Jiyoo tak perlu repot-repot menutupi matanya dengan sebelah tangannya sendiri, kalau begitu.

But if it’s you
I really want to lean on you
Do you know my heart?

Tangannya yang bebas dari tangan Hyori terangkat. Jiyoo menahan tangan Hyukjae dengan tangannya, memastikan agar tangan lelaki itu tetap berada di depan matanya. Tangan Hyukjae besar dan hangat. Sepertinya lelaki itu memang membiarkan tangannya berlama-lama di saku celana. Mungkin agar ketika Hyukjae menggenggam tangan Jiyoo, gadis itu dapat merasakan hangatnya.

“Iya,” Jiyoo terlambat menjawab, “Iya, begini lebih baik.”

Perhatian Hyori teralihkan. Selama 10 menit terakhir, ia tak lagi memperhatikan layar raksasa. Ia melupakan para zombie dan kelompok manusia yang berjuang hidup. Ia bahkan tak tahu apakah anjing peliharaan milik tokoh utamanya selamat dari serangan kucing zombie atau tidak. Hyori melupakan film yang sudah lama ingin ditontonnya.

Melalui sudut matanya, ia bisa melihat Jiyoo tersenyum dari balik penghalang yang dibuat dari tangan Hyukjae. Hyori-lah yang memancing Hyukjae ke sini. Ia menjanjikan akan ada banyak kesempatan romantis di dalam studio. Ternyata benar. Hyukjae sudah bertindak sesuai caranya, sekaligus melindungi Jiyoo dari serangan rasa paranoid terhadap film horor. Langkah bagus. Dan menyebalkan.

Hyori mengalihkan pandangan ke sisi lainnya. Dari sudut matanya lagi, ia melihat seorang laki-laki yang sangat berbeda dari Hyukjae. Cho Kyuhyun berkonsentrasi penuh ke arah layar. Dalam keremangan seperti ini pun, Hyori bisa menangkap binar dari kedua mata lelaki itu. Tanpa bisa disangkal, Kyuhyun benar-benar menikmati film ini.

Seharusnya Hyori senang. Sepatutnya begitu.

Hyori yang menyukai film horor. Ia berhasil mengajak Kyuhyun bersamanya dan diam-diam ia berharap lelaki itu akan menyukai genre film yang sama sepertinya. Tampaknya, ia berhasil. Tapi Hyori justru merasakan getir di ujung lidahnya.

Karena Kyuhyun sama sekali tak mengenal konsep romatisme dalam ketegangan horor.

“Bbek,” panggilnya.

Kyuhyun bahkan tak menoleh. “Hm?”

“Aku takut,” Hyori berbohong. Ia beringsut mendekat ke arah Kyuhyun, berharap mendapat perhatian istimewa dari lelaki itu. Bukankah seharusnya begitu? Seorang lelaki akan menawarkan perlindungan penuh saat seorang gadis merasa tidak aman.

Sayangnya, Hyori hanya mendapat tatapan datar dari Kyuhyun. Seharusnya Hyori cukup lega. Karena setidaknya ia berhasil menarik perhatian Kyuhyun dari film itu. Walaupun ia hanya mendapatkan tatapan datar –tanda bahwa Kyuhyun tak mempercayainya, ia harus merasa puas. Tapi, tidak. Hyori ingin Kyuhyun bisa bersikap sama atau setidaknya menyerupai Hyukjae dalam hal ini. Biasanya ia tak suka membanding-bandingkan kedua lelaki itu. Keduanya sudah jelas berbeda. Hanya saja, terkadang –hanya kadang-kadang, Hyori juga ingin mendapat perlakuan yang manis.

Bukan hanya Jiyoo, tapi sepertinya semua teman perempuannya sudah pernah mendapat perlakuan romantis dari kekasih-kekasih mereka dalam movie date seperti ini.

Kyuhyun mengerutkan kening. Tentu saja ia tak percaya bahwa Hyori ketakutan. Gadis itu hanya takut pada ibunya dan serangga. Film horor seperti ini tidak termasuk dalam daftar hal-hal yang membuat Shin Hyori ketakutan. Kyuhyun juga yakin hantu jenis apa pun pasti tak akan berhasil menakuti Hyori.

Lelaki itu kemudian melihat jauh ke arah Hyukjae dan Jiyoo. Rupanya pasangan itu berhasil membuat Hyori iri. “Kau mau jaketku?”

“Iya!” seru Hyori dengan suara pelan. Kyuhyun melepaskan jaketnya. Hyori baru saja akan bersorak senang dalam hati ketika jaket itu justru melayang tepat ke wajahnya. Pandangan Hyori sepenuhnya menjadi gelap dalam jaket Kyuhyun. Ia berdesis, “Cho Kyuhyun!”

Wae? Kau bilang kau mau jaketku, kan?”

Hyori menurunkan jaket Kyuhyun dari wajahnya. Ia melotot ke arah lelaki itu. “Dasar tidak romantis!” katanya. Hyori hendak melemparkan kembali jaket Kyuhyun, namun tertahan oleh sebuah kotak yang terjatuh ke pangkuannya. Kotak itu berwarna cokelat kayu dengan ukiran klasik keperakan di setiap sisinya. Hyori meraih kotak kayu itu. “Apa ini?”

“Dasar tidak romantis!” balas Kyuhyun. “Kau bilang kau ingin oleh-oleh dari London, tapi setibanya aku di sini, kau bahkan tidak menanyakan apa-apa. Aku merasa sia-sia saja membelikanmu hadiah itu, tahu!?”

“Aku, kan, tidak benar-benar meminta hadiah,” ujar Hyori riang. Ia tak lagi membagi perhatiannya pada film, kali ini semuanya untuk Kyuhyun –dan hadiah yang pernah dimintanya. “Terima kasih!”

Kyuhyun mendengus walaupun bibirnya melengkung. Jelas sekali bahwa lelaki itu bangga. Ia sudah bertindak benar dengan membawa hadiah itu hari ini. Kyuhyun sendiri hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk memberikan benda itu.

Jemari Hyori mengusap permukaan kotak kayu perlahan. Ia menahan napas ketika kotak itu terbuka. Matanya melebar melihat benda berkilauan yang berada di dalam kotak. Benda itu berbentuk pita berwarna perak dengan kilauan permata mungil di tengahnya. Hyori memiliki jepit rambut baru sekarang; berbentuk pita dan berasal dari London. Yang terpenting, benda itu adalah wujud perasaan Kyuhyun.

“Terima kasih ya,” Hyori masih memandangi pita mungil yang berada di kotaknya.

7:05 PM

Kedua lutut Jiyoo terasa lemas. Ia harus menyeret kakinya untuk bisa keluar dari studio setelah film berakhir. Sialnya, belum berhasil menuju pintu keluar, tiba-tiba layar raksasa menampilkan zombie dengan leher yang bengkok dan kelopak mata hitam legam. Jiyoo nyaris terjatuh karena terkejut. Ia menoleh sinis ke samping. Hyori sedang memapahnya berdiri sambil menahan senyum.

“Filmnya sudah selesai, terima kasih sudah menemaniku hari ini!” sahutnya riang.

Jiyoo menyipitkan mata ke arah temannya. Ia tak mengatakan apa-apa. Mentalnya masih terlalu syok gara-gara film itu dan ending dadakan yang muncul justru setelah film berakhir. Di saat seperti ini, Hyukjae justru sudah menghilang, melesat ke toilet bersama Kyuhyun. Ia tak menyalahkan lelaki itu, toh dirinya sendiri juga membutuhkan bilik mungil bernama toilet.

“Ayo ayo cepat ke toilet~” rengek Hyori. Gadis itu berjalan di depan Jiyoo.

Wajah Jiyoo kosong, persis seperti otaknya sekarang. Ia tak memikirkan apa pun dan hanya berjalan lurus melewati koridor dengan deretan pintu studio. Toiletnya ada di ujung koridor ini. Jiyoo tak peduli jika Hyori meninggalkannya. Ia bisa menemukan toilet sendiri.

Pintu toilet itu berwarna putih gading. Jiyoo buru-buru membukanya dan dikejutkan oleh dua punggung yang dikenalnya. Hyukjae dan Kyuhyun sedang berdiri memunggunginya. Jiyoo masih tak bergerak. Hingga kedua orang itu menoleh ke arah pintu yang terbuka, Jiyoo tetap tak bereaksi. Ia tak bisa menyeret kakinya untuk berbalik, padahal ia harus meninggalkan tempat itu secepatnya. Sepasang mata Hyukjae dan Kyuhyun terarah padanya, melayangkan tatapan bingung.

Dua pasang mata itu seakan bertanya, bagaimana bisa Jiyoo masuk ke toilet pria dan berdiri mematung seperti ini?

Hyukjae membuka mulut dan hendak berkata sesuatu ketika Hyori muncul dari belakang Jiyoo. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala. “Maaf ya, dia sedang syok.” Hyori kemudian menarik tangan Jiyoo, meninggalkan Hyukjae dan Kyuhyun yang melongo.

Jiyoo baru menyadari situasi yang terjadi setelah ia berdiri di depan cermin. Matanya mengerjap, lalu melebar panik. Ia terbata-bata, “Aku… toilet… itu…”

“Sudah, sudah,” ujar Hyori. “Mereka akan melupakannya. Kau juga harus melupakannya. Sepertinya rasa syokmu lebih parah daripada yang kubayangkan.”

Hyori berbalik, masuk ke salah satu bilik dan menutup pintu. Segera setelah Hyori menghilang, Jiyoo memaki dirinya dalam hati sambil memandangi pantulan wajahnya. Wajahnya kusut, pucat seperti mayat. Diam-diam ia mencatat bahwa segala judul film horor akan menjadi daftar hitam baginya. Setidaknya, ia tak akan menonton film horor di bioskop lagi. Jiyoo membasuh wajahnya dengan air. Ia berharap kesadaran dan akal sehatnya bisa kembali.

Jiyoo sedang mengeringkan wajahnya menggunakan sapu tangan saat Hyori berdiri di sampingnya. Gadis itu menyisir rambut dengan jari sebelum menyematkan jepit pita di belahan rambut sebelah kanan. Jiyoo memiringkan kepala, mengamati jepitan pita yang tak pernah dilihatnya itu dan bertanya, “Baru?”

“Eum!” sahut Hyori bangga. “Dari Kyuhyun. Sepertinya dia memutuskan memberikan hadiah natal lebih cepat.”

“Bagus,” ucap Jiyoo. Mengingat yang memberikan adalah Cho Kyuhyun, hadiah itu sangat lebih daripada bagus. Ia kemudian memikirkan Hyukjae. Belakangan ini, lelaki itu juga sering ke luar negeri; untuk konser dan semacamnya. Jiyoo jadi bertanya-tanya, apakah Hyukjae menyiapkan hadiah natal untuknya?

Hubungan mereka tak seperti itu. Ulang tahun, hari jadi atau perayaan lainnya sama sekali bukan sesuatu yang wajib dirayakan. Setiap hari pun bisa jadi perayaan tertentu. Jiyoo memang berpikir demikian. Tapi, jika melihat Hyori, ia menjadi sedikit berharap. Jiyoo mengerutkan kening. Tiba-tiba ia jadi memahami perasaan Hyori yang kadang juga iri padanya.

“Kita makan dulu ya?” ajak Hyori. Ia tersenyum sambil memegangi perutnya. “Aku lapar.”

Restoran Itali yang berjarak dua blok dari gedung bioskop itu tampak ramai. Di salah satu sudut ruangannya, Jiyoo duduk di samping Hyori sementara Hyukjae di depannya dan Kyuhyun di hadapan Hyori. Hyori masih mengenakan jepitan pita di rambutnya. Mau tak mau, Jiyoo melirik Hyukjae. Lelaki itu masih sibuk menikmati fetuccini saus asparagus di piringnya. Jiyoo menghela napas pelan. Ia kembali memainkan spageti seafoodnya dengan garpu.

Ia lapar, tapi sedang tak ingin makan. Bahkan, pasta favorit Jiyoo tak mampu membangkitkan seleranya. Entah mengapa, gagasan tentang hadiah natal itu menganggu gadis itu.

Setelah Jiyoo meletakkan garpu dan meneguk air mineral di gelasnya, Hyukjae mendongak. “Kenapa tidak makan?”

“Tidak lapar,” jawabnya lemas.

Hyori tiba-tiba menyahut, “Jiyoo ingin tahu apa oppa membawakan sesuatu dari Malaysia atau Macau atau bahkan London.”

“Shinhyo!” Jiyoo protes. Ia nyaris menyemburkan keluar air yang baru diminumnya. Pandangannya bertemu dengan Hyukjae. Ia menggeleng. “Tidak seperti itu… hanya saja…”

“Maaf ya,” ucap Hyukjae. Alis Jiyoo terangkat. Permintaaan maaf Hyukjae terlalu membingungkan. “Aku tidak menyiapkan apa-apa.”

Seminggu yang lalu, ketika Hyori berhasil memenangkan taruhan sushi, Hyukjae pergi ke Macau untuk konser. Namun, di sana pun ia sama sekali tak berpikir untuk membelikan cinderamata atau hadiah untuk Jiyoo. Ada sesuatu yang sudah direncanakannya dengan acara pemutaran perdana film ini. Sesuatu yang, menurut Hyukjae, sangat brilian.

“Uangnya sudah terpakai untuk merencanakan event aneh ini,” sela Kyuhyun. “Di Macau, dia sama sekali tidak kemana-mana.”

“Yoo, kau sadar tidak,” Hyori menjelaskan, “Lima kursi di barisan depan dan belakang kita kosong, lalu satu kursi di samping Hyukjae oppa juga kosong.”

Jiyoo melongo heran. Otaknya merangkai satu demi satu informasi yang keluar dari bibir Hyori dan Kyuhyun. Ia memang sadar bahwa di sekitar kursi mereka tak ada orang. Hanya saja, ia kira film itu memang tak terlalu laris. Padahal, jika dirunut lagi, seluruh studio penuh dan, Jiyoo ingat, bahwa Hyukjae sempat memberikan sesuatu pada pegawai bioskop yang berjaga di depan pintu studio.

Jika diambil garis merah, sesuatu yang diberikan oleh Hyukjae tadi pasti adalah tiket-tiket yang sudah dibeli lelaki itu sebelumnya… demi sebuah, seperti kata Kyuhyun, event aneh.

“Memangnya… itu termasuk event?” tanya Jiyoo. Hyukjae mengangguk ragu. Jiyoo kemudian tertawa lepas. “Ya ampun! Aku tidak sadar. Lagipula, event seperti itu… memang aneh kalau dilakukan di tengah-tengah pemutaran film horor. Aku bisa mati ketakutan kalau di sekelilingku justru kosong di saat seperti itu.”

Kyuhyun menghela napas panjang. “Sudah kubilang pasti begini.”

“Jadi, aku tidak mendapat hadiah apa-apa?” tanya Jiyoo bercanda.

Hyukjae menggigit bibir. Menggemaskan, pikir Jiyoo. Lelaki itu memandang lurus ke arahnya, tampak serius. “Tiketnya…”

Alih-alih Jiyoo membuka mulut, Hyori mendahuluinya untuk menjawab, “Memangnya siapa yang menyuruh oppa membeli 11 tiket? Sudah bagus Cho Kyuhyun bersedia menanggung 4 tiket untuk kita!”

======================================

snow

[Epilog]

“Kau kecewa padaku ya?”

Pertanyaan Jiyoo membuat keheningan dalam mobil terpecahkan. Keduanya memilih pulang berdua tanpa pasangan neraka Kyuhyun-Hyori. Sepanjang perjalanan, Hyukjae hanya diam. Jiyoo langsung merasa bahwa lelaki itu masih memikirkan kejadian di restoran, tentang pembicaraan mengenai hadiah. Dan event yang gagal.

Hyukjae menoleh, mengalihkan pandangannya dari jalanan kota Seoul. Orang-orang bergegas menyebrang saat lampu jalan berubah merah. Lelaki itu menggeleng. “Tidak.”

“Lalu, kenapa kau diam saja?” tanya Jiyoo lagi. Ia tak terbiasa dengan Hyukjae yang pendiam. Walaupun ia akan selalu menyukai Hyukjae dengan segala bagian dirinya, ia merasa ia tak akan terbiasa dengan Hyukjae si Pendiam.

“Kubalik ya,” ujar lelaki itu, “apa kau kecewa padaku?”

Jiyoo mengerutkan kening kemudian mendengus geli. “Tidak. Kenapa, karena kau tidak membawakan hadiah? Atau karena event malam ini? Jawabannya tetap sama. Tidak sama sekali.”

“Kau mau hadiah? Untuk natal…”

“Tidak juga,” jawab Jiyoo jujur.

Ia memang tak membutuhkan apa pun. Mungkin akan menyenangkan jika ia bisa mendapatkannya, tapi tidak pun tak apa. Kehadiran Lee Hyukjae saja sebenarnya sudah cukup. Seperti yang sering dikatakannya, Lee Hyukjae seperti hadiah natal terbaik yang pernah didapatkan Jiyoo. Jiyoo menekan mati-matian keinginannya untuk mengatakan hal itu pada Hyukjae.

Karena, terkadang, sesuatu yang tetap tersembunyi akan tampak lebih berharga.

“Ya sudah,” gumam Hyukjae. Ia mengemudikan Audi hitamnya di daerah Apgujeong-dong, membelah jalanan yang sudah dihapalnya di luar kepala. Setelah 15 menit, mobilnya berhenti di depan gedung bertingkat 7; dorm Jiyoo. “Sampai.”

Jiyoo melepaskan sabuk pengamannya. “Kau tidak perlu turun. Langsung pulang saja.”

“Sejak kapan kau suka memerintahku?”

“Sejak sekarang,” sahut Jiyoo santai. Ia memutar bola mata saat Hyukjae benar-benar ikut keluar dari mobil. “Terserahlah.”

Hyukjae tak mengindahkan Jiyoo. Lelaki itu membiarkan Jiyoo berjalan meninggalkannya menuju lobi gedung dorm. Saat Jiyoo menapaki anak tangga di depan gedung, Hyukjae menahan tangan gadis itu. Jiyoo berbalik, mengangkat alis untuk meminta penjelasan. Hyukjae masih berdiri tanpa suara.

Keheningan yang damai menghilangkan rasa dingin yang menggigit kulit Jiyoo. Selama hidupnya, ia bukan orang yang menyukai ketidakjelasan. Segala sesuatu yang terjadi dan direncanakan untuk terjadi padanya, harus jelas. Namun, bersama dengan Hyukjae seperti ini; tanpa kejelasan maksud dan apa yang diinginkan lelaki itu, Jiyoo sama sekali tak terganggu. Mungkin ia tak sepenuhnya membenci ketidakteraturan dalam hidup.

Bulatan kecil berwarna putih kemudian jatuh dari langit.

Jiyoo mendongak ke langit yang gelap. Dari langit musim dingin, ia menyaksikan kepingan salju pertama turun di tahun ini. Ia menangkap sekeping dan menggenggamnya. “Salju!”

Hyukjae hanya mendongak sekilas sebelum melingkarkan sesuatu di leher Jiyoo. Gadis itu menunduk. Ia merasakan benda lembut yang hangat melingkari lehernya. Sebuah syal rajut berwarna merah, dengan motif yang sama dengan yang dikenakan Hyukjae di dormnya minggu lalu. Ini artinya ada satu barang lagi yang akan selalu mengingatkannya pada Hyukjae. Jiyoo kehilangan kemampuan untuk berkata-kata. Bukan sesuatu yang baru, sebenarnya. Karena ia selalu begini saat Hyukjae berhasil menyentuh hatinya.

“Hadiah. Memang bukan dari luar negeri,” katanya. “Aku memberikan syal seperti ini untuk Eomma dan Sora Noona. Dan aku ingin memberikan satu untukmu. Karena… selain mereka, kau adalah wanita yang penting bagi Lee Hyukjae ini. Um… dan karena Lee Hyukjae ini membutuhkan dirimu.”

Even if everyone else disappears,

You’re the one person who will protect me

You’re the only love inside my heart

I need you

Jiyoo menyembunyikan wajah di balik syal barunya. Aroma Hyukjae ada di sana. Ia bertanya-tanya apakah Hyukjae berkutat di depan cermin untuk latihan memasangkan syal ini di lehernya hingga aroma tubuhnya tertinggal di sana. Jiyoo mengukirkan senyuman kecil. Bayangan itu terlihat nyata di benaknya.

Gadis itu tak membutuhkan hadiah. Sungguh. Lee Hyukjae saja sudah lebih dari cukup. Jiyoo melihat Hyukjae salah tingkah. Lelaki itu memandang ke segala arah kecuali dirinya. Jiyoo tersenyum simpul.

Lalu, bagaimana bisa ia tak membutuhkan lelaki ini?

I need you, always…

“Aku… masuk dulu,” ucap Jiyoo. Ia menaiki satu undakan tangga kemudian berbalik kembali menghadap Hyukjae. Kedua matanya sekarang sejajar dengan mata lelaki itu. Gadis itu tersenyum gugup. “Tapi sebelumnya…”

Jiyoo mengecup kening Hyukjae di bawah langit Desember.

“Terima kasih!”

==================END==================

Target accomplished! Gak lebih dari 30 halaman. Thanks God~ /.\ Maaf ya kalo bikin capek baca. Hehehehe… I’ll see you guys around. Thank you! ^-^

OST (?) of Horromanticology:

B.A.P – Crash; Dancing in The Rain

Apink – Bubibu; Lovely Day; U You; I Need You

f(x) – Is It Okay to Like You?

Yoseob ft Eunji – Love Day; Huh Gak ft Eunji – Short Hair; Sweet Sorrow ft Park Jiyoon – Again & Again.

ps: betewe, saya gak tau kalo ini barengan sama MV Eunhae – Still You. Pas bagian You-you-nya saya merasa terpanggil. :>

55 thoughts on “Horromanticology

  1. Aigoooo, selalu deh Hyukie nya manis banget. Buat senyum-senyum sendiri ngebayanginnya. Btw, aku jadi penasaran sama BAP. Sebenarnya mereka anak-anak yang seperti apa sih Yo?

  2. kasian uri hyo … setan itu emg g pernah romantis ….
    eh padahal udah bayangin hyukie mau peluk jiyoo deh pas di bioskop *yadongmodeon …. maksudnya kan melindungi gitu hehehe …

  3. Hanya di blog ini aku merasakan Lee Hyuk Jae yang berbeda. Aaaaa, Hyukie manis banget. Pengen punya pacar kayak gitu.

  4. Omo omo omo….. Itu yg bikin ngakan PO Dvd unn .kkkkkkk udah naik PDx Poo eh ternyata… ahahaaa…

    udah biasa Hyukhyuk beromans disini “ lebih menarik romntimex Pasangan Evil ..kkkkk bukkhhh _ apa ini _ tidak romantis _ aaaaaaaaa eonniiiii adegan adegan kali ini aq hayati benar2 secara ada taruhan kasihhann Shin eonni ..welelweleh hebat tuh walaupun akhirx semuanya dikeluarkan kembali ><

  5. bagus banget. kl menurutku ini comedy-romance. cuma sorry nih aku rada ga ngerti deh emang apa gunanya ngosongin 5 kursi depan belakang? masih ga ngerti gitu. hahaha

  6. yooo !! hello ~ long time no see ~ baru sempet baca, biasa jadi anak kuliah semester akhir memang sibuk sekali ahahaha dan ternyata lucuk banget ya ahahaha pantes aja yoo nolak itu BAP, lah wong dia udah PO sendiri ahaha itu betewe lee hyukjae nya tetep ya so sweet, dan tambah ganteng deh kayaknya. di still kece badai lah. itu dia beli 11 tiket ? yaampun buang2 uang aja deh ahahaha tapi tetep kok, manis sekali ya ahahaha

    • eh ketinggalan, si cho kyuhyun emang ya gak pernah gak kurang ajar ahaha muka hyo dilempar jaket muahaha gak romantis, tapi tetep so sweet lah bawa bawa jepitan dari london. dan ehm yah tetep always ganteng selalu ahahaha udah ah, bye ~ ahahaha

      • OH HALOOOOO~~~ \o/
        yoo-nya suda terlanjur PO dvd bap jadinya nolak yang dari hyori padahal kalo belum sih maunya diterima aja. apalah artinya seonggok film horor. HAHAHAHA…
        Terima kasih ya suda baca!

  7. OhMyNo ..!!!!!!!!!!!
    itu endingnya, yaampun bikin aku bahagia, pdhl cuma sesederhana itu, JiHyuk I Need You too wkwkwkwk 🙂
    Kyu itu emNg beda dri yg lain, haha. sikp romantsnya sllu d’saat” yg tak terduga, wkwk. Tmbh cnta KyuHyo 🙂
    kangenn JiHyuk :’)

  8. haii eonni^^
    baru baca dan,, kangen banget sama yang kaya gini>< huhu poo-nya romantis banget. aku paling suka bagian akhir waktu hyuk jae bilang 'Karena… selain mereka, kau adalah wanita yang penting bagi Lee Hyukjae ini. Um… dan karena Lee Hyukjae ini membutuhkan dirimu' uhh berasa banget kalau dia cinta sama yoo. haa eonni semangat ya!! semoga cerita kaya gini selalu berlanjut karena aku sendiri gak rela kalau kehilangan sosok hyuk jae dan ji yoo.
    eonni hwaiting^^

    • Hai jugaaa~ ^-^
      Aw… aku juga syuka sama bagian yang itu. Sebenernya sih aku syuka semuanya. Hihihi…
      Hwaiting! Terima kasih suda baca yaa~ \o/

  9. eonnie, ini sweet sekali. eonnie memang selalu daebag kalau nulis yg beginian. ^^
    Lee Hyukjae selalu membutuhkan Choi Jiyoo. jadi, eonnie ditunggu kisah romantis mereka selanjutnya. Fighting~><
    kelupaan buat KyuHyo.. Cho Kyuhyun, kau selalu romantis dengan caramu. Hyori terima kasih sudah rela makan shusi asal california untuk menang taruhan dan membawa Jiyoo ke bioskop nonton film horor. ^^

  10. kirain hyuk dah brhsl ngalahin bap,eehhh trnyata si yoo dah pre order toh…
    uughh endingnya bnr2 so ssweeeetttt….
    lee hyukjae kado natal tuk jiyooo.. iri bnr nih ma yoo….

  11. Waaaaaaaahhhhh, eonni benar-benar menambah kegilaan desember saya!! untuk yang kesekian kalinya di bulan ini, saya senyum-senyum sendiri di depan leppi.. dan sekarang eonni harus mengupdate cerita sangat so sweet ini..
    Ya Allah, saya ngiler pengen ngerasain jadi jiyoo dan tokoh-tokoh film itu!! ><
    Tetap bikin karya-karya yang membuat saya ngiler ya, eonni!! Ditunggu another you-nya..

  12. itu adegan masuk toilet pria itu kisah nyata kekna hihihihi..

    dan saiyah ngakak kenceng saol event gagaknya lee hyukjae, aku kira dia mau ngasi suprise yang bikin saiyah berdecak kagum, baru mau ngakuin dia piner ternyata masih pabo ckckckckckck…
    salut ama kegigihan hyori makan sushi, ntar kalu kita ketemuan makan sushi lagi ya hihihihi, kakak rela deh nonton film horro demi seporsi sushi *winkeu*

    • Dari sekian banyak scene, yang kaka inget cuma yang salah masuk toilet? Makasih banyak loh kaka vanny…. T^T
      Um… makanya kaka vanny jangan terlalu berharap lebih dari leehyukjae. ^^
      HAYUK HAYUK MAMAM SUSHIII~

  13. HAHAHAHAHAHA
    HARUSKAH DIREALISASIKAN INI ?
    NONTON BENERAN MENGINGAT KMREN GA JDI NNTN INSIDIOUS BARENG ?

    Auw. Ihyukje ! I love ya ! Oppa yang jenius, ga ada yg bisa ngelawan romantisnya hyuk !!!!!
    Ngakak dibagian yoo udh preorder dvdnya bwahahaha belom lagi adegan salah masuk toilet wkwkwkwk !!!!
    Awh. As always. Cho kyuhyun, romantic in his own way pfft.
    Maafkan momma yg telat bgt nongol. *ciumjauh

  14. Annyeong 😀 akhirnya nemu jg blog dg karakter hyuk yg lebih manusiawi alias gk yadong ehehhehe,, jadi tambah kadar suka akyu sama bang hyukie,, apalgi romantis banget dy disini,,keren deh pokokny

  15. Annyeong, novia readers baru hehehe berhubung saya lagi hyukjae fever tiap hari kerjaannya nyari ff yang castnya doi dan masuk kesini. Sukaaaaaaaa bgtbgtbgt yaAllah makin dibikin stress sama lee hyukjae mau bgt lah diperlakukan kayak gitu >_< Si kyuhyun juga cuek-cuek tapi perhatian huaaaaaa suka bgt deh pokoknyaaa!!!! Oh iya thor izin ngubek-ngubek blognya yah hihi

  16. anyeong . 🙂
    uda lama gak mampir ke sini , mash ingat ak kah ?
    he.he.he. 🙂
    ak it slalu suka sma smua ff yg km bwt thor , jdi ndak perlu tanya ak suka ato endak . 🙂
    ohh ya , bole request ndak . 🙂 bwtin ff chapter yg chast utama.na kyu-hyo donk thor . ya.ya.ya jebal . 🙂
    gomawo :*

  17. Huuuaaa, dah lama ga main k sini dan pas main ketemu ini ff. Aduhhh, envy, ciusan. Hyori-ssi, hahaha.. Lucu banget sih kamu! 😀 hyukjae oppa, aaaaa,.. Speechless saiia sm kamu. *_*

  18. Sweet as always ^^

    Selalu kangen dengan perilaku lovely-dovey nya P&Y juga Bbek-Hyo dengan cara mereka sendiri tentunya ❤

    Tulisanmu segar, She…sesegar romantika masa remaja *ahaide*
    Jadi merefleksikan diri sebagai kaum hawa, kadang kala merasa ga puas dengan perilaku pasangan yang sepertinya ga seromantis pasangan lainnya. Tapi, cinta itu hidup dalam setiap relasi dengan keunikannya sendiri 🙂

    Lot a love lah buat kamu dan pembaca setia 'rumah' ini ^^
    Selalu ku nantikan tulisan-tulisanmu yang lainnya, She.
    Have a blessed Monday! 😀

    • Soalnya yang ngetik juga masih remaja *minta diinjek*
      Hihihi… so much love juja buat kamu yang hobi mampir ke sini. Terima kasih banyak! >///<
      Have a very great day for you too! Take care~ ^^

  19. baca lagi. sumpah. kenapa bisa sampe kipikiran punya ide ngosongin 5 tempat duduk dan adegan salah masuk toilet. sumpah. ini epic sepanjang masa, HAHAHA.
    lagi rindu, rindu nongkrong lama lama di matos, di hypermart ama di kosan Yoo sekalian brainstorming. HAHA.
    rindu kak vanny juga. nggak nyesel puasa di Malang kemaren. one the best moment. :’)

    • NAH~ Yoo juga yang kapan baca ulang lagi. Rada unbelievable yah gimana kita brainstormingan sampe termuncul cerita kaya gini. ;~;
      Kangen juga sama momski yang biasa diajakin main, salah satu kandidat temen main yg keceh. xD
      Kak vanny kalo ke malang lagi moms ke malang juga yaaa.. xD

Leave a reply to She Cancel reply