Lovabook Story #1

Incheon

Angin musim semi bertiup lembut dengan beberapa sisa angin musim dingin. Cuacanya cerah walaupun ada dingin yang tak bisa diabaikan. Pergantian musim dingin ke musim semi ditandai dengan hawa dingin dan bunga yang bermekaran. Terasa kontras.

Choi Jiyoo melangkah ringan keluar bandara Incheon sambil menyandang tas kecil di lengannya. Saat melihat langit Korea Selatan, ia menarik napas panjang. Udaranya sama, langitnya juga tetap biru, tapi Jiyoo merasa ia tak akan pernah bisa betah di negara asalnya itu.

“Choi Siwon! Kubunuh kau~” gumamnya pelan.

Dalam kepalanya ia bisa melihat wajah kakaknya yang tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu –Choi Siwon, pasti sedang melipat tangan sambil memandangi wajahnya. Jiyoo mencibir lalu buru-buru menggeleng-gelengkan kepala.

Jiyoo berusaha tenang dengan memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya. “Anggap saja ini liburan, Yoo. Liburan..”

Liburan yang melelahkan..

Belum sempat Jiyoo benar-benar mengusir wajah sok malaikat milik kakaknya, ponselnya berdering. Ia mengeluarkan dua ponsel berwarna putih. Saat ia bisa membedakan mana ponsel baru dan yang lama, gadis itu memasukkan ponsel lamanya ke dalam tas. Jiyoo ingat ia sudah membeli ponsel baru untuk misinya di Korea Selatan.

“Apa?” sahutnya galak.

Terdengar suara Siwon terkekeh di ujung telepon. “Kau masih marah? Padaku? Yoo, itu kan bukan salahku.”

“Bukan salahmu? Lalu salah siapa? Salahku?” Jiyoo meneror kakaknya dengan rentetan pertanyaan.

Siwon menghela napas, berusaha untuk tak kembali tertawa. “Kau sudah sampai?”

“Menurutmu? Aku sudah memegang ponsel baru dengan nomor negara ini, kenapa masih tanya?” Jiyoo berdecak tak sabar.

“Kurangi emosimu sedikit. Kali ini aku mau membantu,” ujar Siwon tenang. Lelaki itu tahu pasti bagaimana cara menghadapi adik tunggalnya yang suka seenaknya. Saat ia tak mendengar Jiyoo mengomel, Siwon melanjutkan, “Kau sudah tahu akan tinggal dimana?”

Jiyoo mengernyitkan alis. Kakinya berhenti di depan sebuah taksi putih. “Eh? Memangnya aku tidak bisa tinggal di rumah kita yang lama? Di Seoul?”

“Tentu saja tidak bisa. Memangnya ayah dan ibu mengijinkanmu? Bodoh,” Siwon tersenyum membayangkan wajah Jiyoo yang sedang cemberut.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Benar. Siwon memang benar. Orang tuanya tidak akan pernah mengijinkannya tinggal di rumah lama mereka saat ia tiba di Seoul nanti. Jiyoo mendesah berat. Sekali lagi, ia benar-benar sudah diusir!

“Jangan mengerutkan kening begitu,” sela Siwon. Ia benar-benar bisa melihat wajah adiknya dari Tokyo.

Jiyoo membantah. “Aku tidak-“

“Iya. Kau sedang mengerutkan kening dan cemberut,” potong Siwon. Lelaki itu mengenal Choi Jiyoo seumur hidupnya lalu apa alasannya ia tak bisa menebak setiap detail kecil yang selalu jadi ciri khas adiknya?

“Kau bilang mau membantu,” Jiyoo kembali menetralkan wajahnya. Ia sendiri tak suka menjadi gadis yang selalu bisa dibaca oleh Choi Siwon.

Siwon tertawa, ia benar-benar bisa melihat wajah adiknya dengan sangat jelas. “Kau sudah dapat taksi? Akan kukirimkan alamat temanku, dia bisa menyewakan kamar untukmu.”

—–

Seoul

Lee Hyukjae terpaksa menghentikan kegiatan membaca komiknya saat Lovabook Store dimasuki beberapa anak muda dengan seragam sekolah. Sesaat tadi toko buku itu masih sepi dan Hyukjae mencoba membaca beberapa komik edisi terbaru yang baru saja tiba.

Ia bangkit dan segera merapikan rak buku yang ada di depannya. Dengan malas ia mengambil buku dari dalam kardus, melirik judulnya sekilas lalu menatanya di rak yang benar. Berulang kali, hanya itu yang dikerjakannya.

Tak lama Hyukjae mengarahkan pandangannya ke tiap sudut Lovabook. Toko buku itu sama sekali tak pantas disebut toko buku, itulah pendapatnya dari awal.

Lovabook adalah gedung dengan dua lantai yang terlihat mewah. Lantai bawah toko buku, dan lantai atas dipakai sebagai toko kaset. Dua hal yang cukup berseberangan disatukan dalam satu ruangan. Lovabook tidak kecil, sama sekali tidak bisa disebut mini. Toko buku itu benar-benar sama besar, sama kokoh, dan sama mewah saat disandingkan dengan restoran Itali yang ada di ujung jalan.

Sudah dua tahun lebih Hyukjae bekerja paruh waktu di tempat ini. Ia memang tidak suka membaca, tapi ia suka mendengarkan musik dan komik. Jadi Hyukjae bisa melakukan dua hal favoritnya dengan gratis.

Hyukjae merogoh ponsel dan menatap benda itu dalam-dalam. Sejak tadi ia memang mematikan ponselnya. Setidaknya sampai orang itu berhenti meneleponnya tiap ada kesempatan.

“Pantas saja,” suara bening itu memaksa Hyukjae menoleh. Gadis di depannya –Park Hyunyoung- berdiri bersandar di salah satu rak buku Fisika. “Daritadi ponselmu mati, kan? Kibum pikir kau belum kembali dari makan siang.”

Alis Hyukjae terangkat sebelah. “Dia mencariku?”

“Mm. Dia butuh daftar buku hari ini,” sahut Hyunyoung. Sebelum Hyukjae berlalu dari hadapannya, gadis itu menahan langkahnya. “Masih diteror?”

“Aish.. apa maksudmu dengan ‘diteror’? Aku bukan sedang dikejar penagih hutang, bodoh,” Hyukjae mencibir pada gadis berambut pendek itu.

Hyunyoung mengangkat bahu. “Tapi aku akan percaya kalau kau bilang begitu.”

“Makanya kubilang bukan karena itu, kan,” ujar Hyukjae cepat. “Hanya saja, orang itu tidak mau berhenti memaksaku. Untung saja dia tidak ke Seoul, kalau tidak, aku pasti mati tuli.”

“Ck, menikah sajalah, Hyuk,” sahut Hyunyoung. “Kalau kau menikah, kau senang, dia juga. Beres.”

Hyukjae melotot lalu mengibas-ibaskan tangannya sebelum masuk ke ruangan Kibum, pemilik Lovabook. “Aku tidak akan menurut begitu saja pada ucapan wanita. Tidak kau, dan tidak dia.”

—–

Jiyoo memandangi gedung apartemen yang mungil dan bercat kuning pudar di hadapannya. Matanya benar-benar tak bisa lepas dari bangunan kuno –atau menyedihkan itu. Ia nyaris berteriak kesal saat itu juga.

“Aish.. kenapa Choi Siwon memberiku tempat tinggal seperti ini?” Jiyoo menggerutu kesal.

Setelah mengeluarkan koper putihnya dari bagasi, Jiyoo masih membeku di depan pintu apartemen. Rasanya ia masih belum punya kekuatan cukup untuk melangkah masuk ke gedung yang –menurutnya- nyaris ambruk itu. Jiyoo meniup poninya frustasi.

Untuk saat ini, yang bisa ia simpulkan adalah: Choi Siwon lah yang benar-benar marah padanya. Mana mungkin lelaki itu sengaja memberikan tempat tinggal sementara yang.. yang.. yang menyedihkan seperti ini untuknya?

Jiyoo menghela napas, berusaha mengatur kadar oksigen yang keluar-masuk paru-parunya. “Setidaknya aku tidak akan lama disini.”

Dengan langkah berat, Jiyoo menarik koper besar yang dibawanya dari Jepang. Ia sempat melirik gedung rapuh itu satu kali, dan itu tidak membuat Jiyoo lebih baik. Jiyoo harus melakukan tugasnya lalu pulang sesegera mungkin!

Satu hal yang ia lakukan saat melihat ruangan kecil dengan wallpaper dinding kusam, yang disebut kamarnya, adalah: memejamkan mata.

Jiyoo mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu. Ada satu ranjang mungil, satu lemari kecil, dan meja belajar menghadap ke jendela. Dalam hati ia bertekad untuk merengek pada Siwon, ia butuh tivi atau setidaknya laptop atau apa saja yang bisa membiarkannya merasa seperti manusia modern.

“Siwon-ssi bilang dia tidak punya pacar, tapi aku tahu ia pasti berbohong. Kau cantik sekali, Nona,” ucap Park Hana, wanita paruh baya pemilik kamar.

“Ah, saya adiknya, Choi Jiyoo,” ralat Jiyoo.

Park Hana mengerutkan kening. “Begitukah? Pantas saja, matamu itu mirip Siwon-ssi.”

Jiyoo nyengir. Bukan cuma wanita di depannya ini yang bilang begitu. Semua yang mengenal Choi Siwon dan Choi Jiyoo pasti akan bilang begitu. Mata mereka memang serupa, dan kesamaan itu membuat Jiyoo agak tak nyaman.

“Aku punya seorang putri yang seumuran denganmu, kurasa kalian bisa akrab. Tapi dia sedang bekerja di tempat pacarnya saat ini,” jelas Park Hana. Kemudian wanita itu mendadak sadar sudah banyak bicara pada Jiyoo. “Kalau begitu, beristirahatlah sekarang. Panggil aku kalau ada yang kau perlukan.”

Bibir Jiyoo mengulas senyuman kecil sebelum Park Hana meninggalkan kamarnya. Detik berikutnya ia sudah duduk di ranjang mungil yang terlihat rapi di sudut kamar.

Jiyoo mendesah. “Yoo~ kau bisa!”

——

@Lovabook Store

Masih sore dan matahari belum benar-benar hilang tapi Lovabook sudah sepi. Hari ini hanya ada periksa gudang dan membereskan beberapa rak buku, jadi tidak banyak pengunjung yang datang. Toko kasetnya juga sama, akan tutup sampai ada pengurus yang baru.

Hyukjae baru saja meregangkan ototnya saat Hyunyoung membawa setumpuk buku dari gudang. Gadis itu meletakkan buku-buku yang ada di tangannya ke atas meja. “Kau tidak lembur?”

“Kenapa? Kau takut aku mengganggumu dan Kibum?” tebak Hyukjae, dan gadis itu tersenyum lebar. “Aku mengerti. Tenang saja, aku harus menemuinya malam ini.”

Hyunyoung mengangguk-anggukan kepala. “Benar, benar, kau harus menemuinya. Bilang padanya kau belum bisa menikah.”

“Memang itu tujuanku. Aku masih muda, kenapa dia terus menuntut soal pernikahan?” omel Hyukjae.

“Benar, benar, kau masih muda, selain itu belum ada gadis yang mau menikah denganmu. Dengan kata lain, kau masih belum laku, Hyuk,” sahut Hyunyoung santai.

Hyukjae memicingkan mata, melotot ke arah teman kerjanya yang menyebalkan itu. “Kau menantangku berkelahi?”

“Untuk apa? Ah, kau mau merebut Kibum setelah bisa menang dariku? Hyuk-ah, masih banyak gadis lain, jangan berubah tak normal begitu,” Hyunyoung buru-buru mundur teratur dari hadapan Hyukjae. “Lagipula Kibum-ku tidak suka laki-laki!”

“Ya! Park Hyunyoung!” Hyukjae hanya bisa menggeram setelah melihat Hyunyoung menghilang ke ruangan Kibum.

Dengan satu gerakan cepat ia merogoh sakunya lalu memasang kembali batere ponsel yang sejak siang ia lepaskan. Hyukjae mendesah berat. Nyaris ada 20 panggilan yang masuk ke ponselnya. Dan tentu saja, semua nomornya sama.

Hyukjae sempat memutar bola mata sebelum akhirnya benar-benar menghubungi nomor itu. Terdengar nada sambung beberapa saat. “Oh, Eomma~”

“Kemana saja kau? Kenapa ponselmu mati? Apa kau tahu Eomma meneleponmu berapa kali? Dimana kau sekarang?” suara di ujung telepon membuat Hyukjae berpikir, apa ibunya tidak kehabisan napas saat memborong pertanyaan seperti itu?

“Aku tidak kemana-mana, hanya sedang bekerja, aku harus mematikan ponselku,” jawab Hyukjae. “Eomma bertanya apalagi tadi? Aku lupa.”

Hyukjae bisa mendengar ibunya menghela napas dan menahan tawa. “Dimana kau sekarang?”

“Di toko. Aku akan pulang sebentar lagi, jadi Eomma bisa memarahiku secara live,” sahut Hyukjae sekenanya.

“Tidak usah pulang,” jawaban ibunya membuat Hyukjae mengerutkan alis.

“Kenapa? Apa aku sudah diusir?” tanya Hyukjae. Menurut pengalamannya selama 26 tahun hidup bersama ibunya, wanita paruh baya itu memang tidak akan pernah ragu-ragu melakukan hal mustahil sekalipun, termasuk mengusir anaknya sendiri.

Ibunya terkekeh mendengar pertanyaan konyol Hyukjae. “Kalau kau tidak menurut, kau akan benar-benar kuusir. Akan kukirimkan alamatnya, kau harus menemuinya disana.”

Hyukjae menarik napas panjang. Mulai lagi. Ibunya memang bukan tipe wanita yang mudah menyerah..

—–

Jiyoo memandangi pemandangan di luar jendelanya dengan tatapan kosong. Ia memang bilang kalau ia harus menyelesaikan tugasnya di Seoul secepat mungkin. Tapi ia benar-benar tidak tahu harus memulainya dari mana.

“Choi Siwoooooon~ kenapa kau tidak membunuhku saja?” desahnya frustasi.

Tak lama ponselnya berdering, menuntut perhatian Jiyoo. Sekilas ia melirik layar ponselnya sebelum membuang pandangannya lagi. Siwon-Choi calling…

Setelah membiarkan benda itu berbunyi beberapa kali tanpa diangkat, akhirnya Jiyoo juga yang menyerah. Ia menempelkan ponselnya ke telinga. “Apa lagi?”

“Aku ini kakakmu, tidak bisa ya kau bersikap sedikit manis?” sahut Siwon.

“Aku kehabisan gula, dan aku sedang tidak punya madu atau apapun yang rasanya manis,” Jiyoo mencibir. “Disini aku cuma hidup dengan satu kamar kecil dalam gedung yang nyaris runtuh. Kau mau?”

Siwon terkekeh. Ia benar-benar bisa mendapat hiburan pribadi dari gadis di ujung telepon ini. “Maaf, maaf. Hanya itu yang bisa kubantu. Lagipula aku memang tidak bisa mengusahakan yang lain. Aku juga tidak bisa mengirimkan uang untukmu, jadi-“

“Apa?” potong Jiyoo cepat. “Lalu bagaimana aku bisa hidup? Ah, dan juga, sewa tempat ini, bagaimana?”

“Di Seoul kan banyak pekerjaan. Kalau sewa, sudah kuurus, jangan khawatir,” sahut Siwon.

Jiyoo menarik napas panjang lalu mengomel. “Choi Siwon, apa kau yakin kau tidak mau membunuhku saja?”

“Bicara apa kau ini?” Siwon kembali tergelak. “Apa Seoul benar-benar membuatmu tidak betah sampai mau mati?”

“Bingo! Jadi kapan aku bisa pulang?” tuntut Jiyoo.

“Kau belum mulai apa-apa, kan? Mau mulai darimana?” Siwon menyipitkan mata, berusaha membayangkan seperti apa wajah Jiyoo yang sedang berpikir.

Jiyoo mengambil buku kecil yang ia bawa dari Tokyo. “Seperti apa tipemu? Mencari gadis Seoul kan tidak susah. Aku bisa mendapatkannya dalam waktu seminggu, bahkan kurang.”

“Ya! Misimu itu mencarikanku calon istri yang benar, bukannya sembarangan mengambil gadis dan membawanya ke pulang ke Tokyo. Mengerti?” jelas Siwon. “Lagipula aku heran kenapa kau malah mengacaukan perjodohanku dengan gadis Amerika itu. Kalau saja kau tidak melakukannya, kau masih hidup tenang di Tokyo.”

Untuk sejenak Jiyoo menggigit bibir. Kejadian di Tokyo itu memang salahnya. Kemudian ia balas menjawab. “Lalu kenapa kau malah meminta gadis Seoul yang harus jadi istrimu, ha? Bukankah itu hanya menyulitkanku?”

“Karena aku merindukan Seoul, gadis-gadis Seoul juga tidak jelek,” sahut Siwon santai.

“Kalau begitu kau saja ke Seoul dan cari sendiri calon istrimu,” gumam Jiyoo. “Seperti apa tipemu? Cantik? Tinggi seperti model? Atau harus artis?”

Siwon terkekeh lagi. “Terserah kau. Aku hanya akan menunggu calon istri yang kau bawakan.”

Telepon terputus. Jiyoo mengerucutkan bibir, kesal. Sudah dua kali dalam hari ini Choi Siwon bertindak begini. Seenaknya menelepon, mengingatkannya pada misi di Seoul, lalu tiba-tiba memutuskan sambungan begitu saja. Memangnya siapa dia?

Jiyoo memutar bola matanya. “Tentu saja dia adalah Choi Siwon yang Terhormat.”

Dengan satu gerakan cepat ia membolak-balik buku kecil bergambar chibi Bleach. Bukan Jiyoo kalau ia sama sekali tak punya persiapan. Choi Jiyoo sudah menyelidiki banyak tempat biro jodoh, yang harus ia lakukan hanya mendatanginya lalu mulai memilih. Tidak susah.

Gadis itu meraih ponselnya lagi lalu mulai menelepon..

—–

@Amore Café

Sudah kesekian kalinya Lee Hyukjae menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia benar-benar tidak mengerti apa alasan ibunya mati-matian mencarikan gadis untuk dijodohkan dengannya. Usianya baru 26 tahun, bukan remaja, tapi juga bukan usia yang dibilang siap untuk menikah.

Hyukjae mendesah. Sekalipun ia harus menikah nanti, ia akan memilih sendiri gadis yang ia inginkan. Bukannya malah berkeliaran menuruti keinginan ibunya untuk menemui tiap gadis seperti ini.

“Ibumu bilang kau suka buku, buku.. seperti apa?” tanya gadis berambut pendek di depannya.

Gadis itu calon pilihan lain dari ibunya. Dan usianya masih 19 tahun! Memangnya apa yang ibunya pikirkan? Menikahkannya dengan gadis yang belum genap 20 tahun? Hyukjae merasa ia adalah tindakan kriminal.

“Eumm.. tidak banyak, hanya buku.. yah, kau tahu, kan, buku kesukaan laki-laki dewasa,” Hyukjae menyahut sekenanya. Ia bisa melihat ekspresi gadis yang tampak sedikit terkejut itu.

Sedikit lagi, pikir Hyukjae, hanya sedikit lagi dan gadis ini akan menyerah..

—–

“Kafe Amore, jam 7 malam,” itulah yang Jiyoo ingat dari ucapan pria yang dihubunginya. Ia mengarahkan pandangannya ke papan besar dengan lampu warna-warni.

Kafe tempat tujuannya itu tidak besar. Ada beberapa kencan buta di tempat ini, jadi Jiyoo hanya tinggal berharap ada gadis yang bisa ia bawa pulang ke Tokyo. Kepalanya bilang ia harus cepat. Ia harus cepat kembali ke kehidupan normalnya.

Jiyoo menarik kursi yang berada agak di tengah ruangan kafe. Matanya menangkap beberapa pasangan yang sedang kencan buta. Ia sibuk menimbang-nimbang, gadis mana yang cocok untuk Tuan Muda Choi? Seharusnya Siwon saja yang memilih sendiri, gerutunya, memangnya aku yang mau menikah?

“Seharusnya kau saja yang memilih sendiri! Memangnya ibumu yang mau menikah?” suara itu membuat Jiyoo mendongak dan menoleh ke belakang. Siapa orang yang bisa menyuarakan pikirannya sejelas itu?

Lelaki itu hanya diam tapi tatapannya seolah merendahkan gadis di depannya.

“Lee Hyukjae-ssi, aku sudah tahu dari ibumu kalau kau akan berusaha mati-matian untuk menolak kencan buta ini,” ucap gadis itu lagi. “Tapi aku tidak akan menyerah.”

Jiyoo mengerutkan kening. Gadis itu memaksa lelaki di depannya untuk menikah?

“Sepertinya kau sudah salah dengar soal aku, Nona,” ujar lelaki bernama Lee Hyukjae itu. “Aku suka majalah dewasa, bukankah itu bukan hal yang aneh? Kenapa malah membawa ibuku dalam pembicaraan ini? Usiamu juga.. masih 19 tahun, kan? Menarik..”

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. “J-jadi kau.. maniak ya?”

Kepala Jiyoo makin mendekat ke meja pasangan itu. Saat melihat wajah lelaki itu, Jiyoo juga berpikiran sama. Lelaki itu pasti seorang maniak. Lagipula caranya mengucapkan kata ’19 tahun’ itu agak.. mencurigakan.

“Maniak? Entahlah. Menurutmu begitu?” tanya Lee Hyukjae sambil menyeringai aneh.

Jiyoo memijat tengkuknya sendiri. Sebenarnya ia tidak mau mendengar pembicaraan orang lain, tapi perdebatan mereka menarik. Dan sekarang ia benar-benar tidak bisa pura-pura tuli.

Entah bagaimana, Jiyoo sudah berdiri di samping kursi si gadis. Ia menyipitkan mata ke arah Lee Hyukjae yang memandangnya bingung. Kemudian ia menarik lengan gadis itu. “Ya! Bisa-bisa kau dijadikan objek prostitusi. Pergi sana.”

“P-prostitusi?” ulang gadis itu. Ia menampakkan raut takut di wajahnya. “Tapi.. tapi ibuku bilang keluarga mereka keluarga baik-baik.”

Jiyoo mendesah lalu beralih mengamati Lee Hyukjae. “Wajahnya sama sekali tidak mirip orang baik-baik.”

Hyukjae tertawa sambil membuang pandangannya dari Jiyoo –gadis asing yang tiba-tiba mengatakan hal aneh. Lelaki ini sama sekali tidak punya waktu mengomentari ucapan Jiyoo, jadi ia hanya mencibir.

“Cepat pergi~ kau mau menunggu orang ini membawamu ke hotel atau semacamnya? Dia jelas-jelas bukan orang baik,” tambah Jiyoo.

Gadis tadi masih memandangi Jiyoo, bimbang. Tapi kemudian ia mengambil tas tangan yang ada di sampingnya dan melangkah keluar kafe tanpa berbalik untuk sekedar berpamitan pada Lee Hyukjae –lelaki yang nyaris menjadi suaminya.

“Terima kasih banyak,” ucap Hyukjae sesaat setelah gadis tadi menghilang.

Jiyoo mengernyitkan alis, menunjukkan wajah bingung. Ia memiringkan kepala dan melihat wajah Hyukjae dengan jelas. “Jangan harap aku mau jadi korban maniak sepertimu dan menggantikan gadis itu!”

“Seandainya aku maniak, aku akan memilih gadis lain,” Hyukjae menyahut santai lalu bangkit dari kursinya.

“Apa?” dengan cepat Jiyoo mengartikan hal itu sebagai penghinaan. Tidak ada satu lelaki pun yang bisa menolaknya –di Jepang. Ia berteriak di belakang Hyukjae. “Setidaknya aku bukan lelaki 25 tahun yang masih mengikuti kencan buta yang diatur oleh ibuku sendiri!”

Hyukjae menghentikan langkahnya. Gadis itu –yang ada tepat di belakangnya, sudah terlalu ikut campur. Ia berbalik, berdiri tepat di depan Jiyoo dan mengangkat dagu gadis itu. “Pertama, aku 26 tahun. Kedua, ibuku sama sekali tidak memaksaku ikut kencan buta. Dan ketiga, seingatku itu semua tidak ada hubungannya denganmu.”

Jiyoo menatap wajah Hyukjae dengan kesal. Ia menepis tangan lelaki yang masih menyentuh dagunya. Matanya menyipit, lelaki di depannya ini adalah makhluk paling menyebalkan setelah Siwon –menurut Jiyoo.

“Maaf, Tuan, Nona,” panggilan seorang pelayan membuat mereka menoleh bersamaan.

“Apa?” Jiyoo dan Hyukjae menjawab bersamaan sebelum kembali saling melayangkan tatapan kesal.

Sang pelayan mengerutkan kening lalu berdeham. “Siapapun yang membuat keributan disini harus keluar. Atau perlu saya panggilkan manager kafe?”

Hyukjae memutar bola mata. “Aku sudah selesai disini.”

“Ah, aku masih harus mencari peserta kencan buta lain, biarkan aku disini ya?” pinta Jiyoo. Ia sama sekali belum menjalankan misinya. Harusnya ia tidak perlu mengurusi masalah maniak ini dan calon korbannya.

Pelayan tersebut menggeleng. “Tidak bisa. Maaf, silahkan keluar.”

“Cih, ternyata kau ikut kencan buta juga? Memangnya siapa lelaki yang mau ikut kencan buta dengan gadis cerewet sepertimu?” cibir Hyukjae sebelum melangkah menuju pintu keluar.

Jiyoo melotot kesal sambil mengambil tasnya dari atas meja. “Aku mencari seorang gadis, bodoh~”

“Kau lesbian?” Hyukjae berteriak agak nyaring sampai beberapa orang di sekitar mereka menoleh dan memandang Jiyoo dengan tatapan terkejut. “Akhirnya aku tahu kenapa kau mau saja mencampuri urusanku, kau tertarik pada gadis yang bersamaku tadi, kan? Maaf ya, dia putri kenalan ibuku. Aku tidak mau menjerumuskannya ke lubang yang sama denganmu.”

“Kau gila ya? Bicara seenaknya. Pergi sana!” omel Jiyoo. Ia menghentikan langkahnya saat Hyukjae masih berjalan di belakangnya. “Kenapa mengikutiku?”

Hyukjae mengerutkan kening lalu mencibir. “Siapa yang mengikutimu? Arah ke terminal bis kan memang kesana.” Telunjuknya mengarah ke ujung pertigaan jalan yang menjadi tempat menunggu bis.

Dengan cepat Jiyoo membalikkan tubuhnya lagi. Tidak mau melihat kemungkinan ia akan satu bis dengan lelaki itu, Jiyoo berhenti dan memanggil taksi. Hyukjae sendiri hanya mengangkat bahu saat melihat taksi Jiyoo menghilang bercampur dengan mobil-mobil lain.

Dalam taksi, Jiyoo mengeluarkan ponsel putihnya lalu membuat catatan disana.

Day 1 FAILED~

==============================

Jjajan~ emang ada nikah-nikahan, tapi si Siwon, itu juga belum pasti. xD Kenapa pada ngarep JiHyuk yang nikah? Pada ngerestuin kita nikah ya? Makasihh~~~~ Amiiin, kami bakal nikah kalo uda waktunya kok. (?)

No SR~ *emang ada yang baca, Shel?*

Kalo ga ada yang baca ya aku baca sendiri.. kok repot. Lol. Tapi kalo ada SR, aku sumpain inetnya (Hape, laptop, komputer, etc.) pada rusak permanen. *Amiiiiiinn~*

PS: my last post, wish me luck on my exam, okay? And maybe I cant reply all the comment that you type, but I make sure I’ll read those all, so I can decide I have to continue this one or not.

Thanks~ have a nice day.. 😀