Amore Cafe 5th cup

Jiyoo dan Hyukjae melangkah cepat masuk ke dalam apartemen. Mencari tahu apa yang terjadi di dalam. Banyak dugaan negatif yang bersarang di kepala mereka. Bagaimana kalau Haejin juga sama-sama diusir dari tempat tinggalnya?

“Hyukjae-ya, apa eonni benar-benar diusir keluar?” tanya Jiyoo sedikit panik.

Hyukjae hanya mengangkat bahu lalu menegaskan, “Tidak mungkin! Pemilik apartemen ini kan saudara jauh ibunya –yang tak lain adalah bibiku-“

“Mm… kalau begitu kenapa koper-koper ini dilempar keluar ya?” Jiyoo berpikir agak lama. “Eh, tapi ini milik kalian bukan?”

Langkah Hyukjae terhenti. “He? Aniyo. Bukan milik kami.”

“Lalu milik siapa?” alis Jiyoo terangkat heran. Tak lama, mereka melihat Haejin yang sedang mengangkat tas slempang kecil dan Donghae yang memohon di sampingnya. “Eonni? Sedang apa?”

Haejin’s PoV

 

Ini tas ketiga yang baru saja akan kulempar keluar saat Jiyoo dan Hyukjae muncul dari tangga. “Eonni? Sedang apa?”

“Aku? Sedang mengusir playboy kacangan ini,” kuturunkan lagi tas itu.

“Me- apa? Mengusir? Mengusir Donghae-ssi?” pekik Jiyoo.

Hyukjae ikut terkejut, “Memangnya kenapa? Bukankah kemarin kalian masih baik-baik saja?”

Aku tidak menjawab. Yang jelas kekesalanku ini masih memenuhi setiap rongga dadaku. Saat ini melihat wajah Lee Donghae saja membuatku sudah sangat muak. Kemarin kami memang baik-baik saja. Tapi itu KEMARIN, sebelum dia berbuat kesalahan yang amat sangat tidak bisa dan tidak boleh dimaafkan.

Kulihat Donghae bangkit dan menyeret Hyukjae. Sepertinya mereka saling berbisik pelan. Tidak cukup pelan karena telingaku masih bisa mendengarnya dengan jelas, “Kemarin kami kencan, lalu aku-“

“Lalu kau kembali ke sifat aslimu, sang playboy dengan jutaan gadis di sekitarnya. Menyebalkan~” potongku. Kuangkat tas terakhir miliknya, “Kau harus pergi dari sini! Pergi sana yang jauh! Jangan kembali ke apartemen ini lagi!”

“Ya, ya, ya! Lee Haejin, kau tidak punya hak mengusirku dari sini,” ujar Donghae sambil berjalan mendekat. Kemudian ia mengambil paksa tasnya dari tanganku. “Sekarang pungut kembali semua barangku yang sudah kau buang!”

Aku mendengus. “Sirheo! Sudah kubilang kau harus pergi dari sini, jadi kubantu kau mengeluarkan barangmu keluar!”

“Aish~ kesalahanku tidak separah itu!” tegasnya. Donghae menegaskan lagi, “Aku. Tidak. Akan. Pergi. Kemana pun.”

“Ya! Kalau kubilang kau harus pergi, itu artinya kau memang harus angkat kaki, Lee Donghae yang terhormat,” kurampas lagi tas dari tangannya dan kulempar keluar.

Donghae berlari keluar mengambil tasnya yang tergeletak di jalan, “Kalau kubilang aku tidak akan pergi kemana pun, itu artinya aku memang tidak akan kemana-mana!”

“Sebenarnya ada di mana telingamu, ha? Kau harus pergi dan aku berhak mengusirmu, ja-“ tanganku ditarik Jiyoo. Ia menyeretku masuk ke kamar apartemenku sendiri. “Mwoya~?”

Jiyoo bersandar di meja dapur dan menarik napas berat, “Kalian ini kenapa? Benar-benar seperti anak kecil.”

Aku mendengus tanpa menjawab. Sekarang yang kuinginkan hanya mengusir Lee Donghae itu jauh-jauh dari pandanganku. Dengan hak-ku sebagai penanggung jawab apartemen kecil ini, aku bisa saja mengusirnya.

“Eonni!” panggilan Jiyoo membuatku terperanjat. “Memangnya Donghae-ssi sudah berbuat apa?”

“Tanya saja padanya! Aku tidak mau membahasnya!” kuseret kakiku dengan cepat masuk ke kamar. Bisa kulihat Jiyoo memutar bola matanya tapi kuabaikan. Kututup dan kukunci pintunya. Aku beringsut naik ke ranjang dan bersandar di tembok. Kupeluk lututku sendiri. “Lee Donghae menyebalkan!” Lalu kubenamkan kepalaku disana.

@Amore Café -10.11-

 

Benar-benar lelaki pengecut. Karena bertengkar denganku, dia tidak berani masuk kerja. Mataku melirik jam besar yang ada di pojok ruangan. Sudah lewat 11 menit dari jam kerja. “Cih~ playboy kacangan yang pengecut.” gerutuku.

Henry keluar dari ruangannya dan berjalan ke arahku. “Haejin-ssi, Donghae kemana?”

“Aku tidak tahu, sunbaenim,” ujarku. Tapi kemudian, aku menggumam pelan, “Dan aku tidak akan mau tahu.”

Untung saja sepertinya Henry tidak mendengarku. “Apa dia terlambat ya,” Lalu ia bertanya soal hal lain, “Soal Jiyoo-ssi… jam berapa dia sampai ke rumah?”

“Ne? Pagi tadi, sekitar jam 6, sepertinya,” jawabku spontan. Anak ini menanyakan Jiyoo padaku? Memangnya Henry tahu kalau Jiyoo tinggal bersamaku dan Hyukjae sekarang? Melihat Henry yang berbalik badan, kutahan lengannya, “Sunbaenim, bagaimana bisa tahu kalau Jiyoo tinggal bersama denganku?”

Henry tersenyum kecil, “Hanya… tahu.”

“Ah, tapi-“

“Donghae sudah datang. Ternyata dia memang terlambat,” Henry menunjuk Donghae yang berdiri mematung di pintu belakang. “Haejin-ssi, aku harus keluar selama jam makan siang. Kutitipkan Amore padamu.”

Badanku sempat membungkuk singkat dan membiarkan punggung Henry tak terlihat lagi. Padahal aku masih penasaran soal dia dan Jiyoo. “Hati-hati di jalan, sunbaenim.” Tapi kemudian aku berdecak kesal saat melihat wajah Donghae, “Kenapa harus datang, bukankah seharusnya pergi saja mencari tempat tinggal baru.”

“Ahh~ kau tidak suka saat acara selingkuhmu diganggu ya?” sindirnya. Selingkuh? Siapa? Aku?

Aku memilih mengabaikannya dan masuk ke dapur. “Disini sangat tidak nyaman~”

Mataku menatap tajam lelaki yang sedang tebar pesona itu. Aku berdecak kesal, “Sekali playboy memang tetap akan jadi playboy.”

“Mworagoyo?” Donghae langsung memutar badannya dan memandangku. Dahinya berkerut, sepertinya aku sudah membuatnya sedikit sebal.

Aku mengangkat bahu, “Bukan apa-apa. Tapi baguslah kalau telingamu itu masih berfungsi dengan baik.”

“YA~~” ia berjalan mendekat padaku. Tubuhnya berdiri tepat tiga puluh senti dariku. “Ternyata kau sangat kekanak-kanakan.”

“Apa? Aku kekanak-kanakan? Kau benar-benar membutuhkan cermin ya, Lee Donghae-ssi?” tantangku. Sejujurnya, aku lelah dengan pertengkaran seperti ini. Kurasa baru kemarin kami berdua punya hubungan yang lebih baik dan.. hangat.

Buru-buru kutepis semua pemikiran konyol barusan. Dalam hati aku memaki, ini salahnya. Ini semua disebabkan oleh satu orang. Orang gila bernama Lee Donghae.

 

Bisa kulihat Donghae menarik napas panjang dan menghembuskannya berat. “Haejin-ah, kau ini harus marah hanya gara-gara hal itu?”

“Terserah aku kan. Urusi saja masalahmu itu,” rutukku. Tubuhku berbalik cepat, tapi kemudian Donghae menarik lenganku. Aku memandangnya sejenak lalu meronta, “Mau apa kau? Lepas~~”

Donghae seperti tidak mendengarku. Ia tetap mencengkeram lenganku erat. “Kenapa kau marah hanya gara-gara hal itu?”

“Kalau aku tidak suka, aku pasti akan kesal. Jadi kalau kau tidak suka dengan sikapku, kau juga bisa kesal padaku,” bentakku kasar.

“Lee Haejin! Sebenarnya berapa usiamu? Kau seperti gadis kecil berumur 10 tahun yang manja,” ujarnya tegas. Aku tidak suka ada orang yang menganggapku manja. Saking kesalnya, aku malah tidak bisa membalas ucapannya dan mulai menangis. Donghae yang terkejut, langsung melepaskan tangannya. “Y-ya~ kau kenapa? Kenapa tiba-tiba menangis?”

Aku terisak, “Aku bukan anak kecil~~”

“Ya, ya, ya.. aku tahu. Maaf…,” Donghae sibuk menenangkanku sambil melihat sekeliling. Beberapa pengunjung tampak menjadikan kami sebagai objek menarik. “Haejin-ah, semua orang melihatmu. Jangan menangis. Jebal~~~~~”

“Eonni? Kenapa menangis?” suara bening milik Jiyoo membuatku dan Donghae langsung memutar badan. Jiyoo berdiri di pintu belakang ditemani Hyukjae. Kakinya melangkah cepat ke arahku, “Eonni? Baik-baik saja kan?”

Hyukjae membuntutinya dari belakang. Langkahnya lebih ringan. Ia memandangi Donghae, “Kau apakan Haejin noona?”

“A-aku.. aku tidak melakukan apa-apa,” kilah Donghae. Ia melirikku, mencari bantuan. “Benar kan, Haejin-ah? Aku tidak berbuat macam-macam kan?”

Aku masih tidak bisa bicara dengan benar. Kata-kataku masih tersendat aneh. “D-dia membuatku kesal. Saking kesalnya, aku sampai menangis.”

“Y-Ya~~” Donghae mulai gelagapan saat Jiyoo dan Hyukjae mengarahkan tatapan tajam padanya.

Hyukjae merangkul pundak Donghae. “Donghae-ya, sepertinya kita harus bicara berdua.”

“Hyuk-ah…,” rengek Donghae, “Sepertinya kau tidak hanya akan mengajakku bicara..”

“Mm… hanya sedikit pembicaran ‘ala lelaki’,” kilah Hyukjae. Sepertinya akan ada sedikit pertandingan, pikirku.

Donghae masih meringis sambil memegangi pipinya yang lebam. Benar dugaanku, mereka sedikit berkelahi. Aku sedikit tersanjung karena Hyukjae bodoh itu bisa memperhatikan noona-nya ini.

Melihatku terkikik, Donghae bergumam. “Sepertinya ada yang puas saat Hyukjae menghajarku.”

“Menghajar? Hyukjae hanya sedikit meninju pipimu,” elakku. Aku mengangkat bahu, “Lagipula memang semua ini salahmu, bodoh.”

“Benar, benar sekali. Semua ini adalah salah Lee Donghae,” dengusnya. Kemudian ia memandangku, “Kau sudah tidak marah kan?”

Aku mendelik kasar ke arahnya. “Donghae-ya, aku bukan gadis plin-plan. Aku akan tetap marah padamu sampai aku bisa memikirkan alasanmu yang masuk akal.”

“Bukankah sudah kubilang kalau gadis itu-“

Kuangkat tanganku untuk menyela. “Choi Jiyoo, Lee Hyukjae, jangan mengintip kami lagi. Kembali kerja sana~~~” mataku menangkap dua bayangan yang bersembunyi di balik dapur.

Jiyoo muncul lebih dulu sambil menggaruk pipi kanannya. “Aku, eh, kami hanya penasaran.”

“Apa yang bisa membuat kalian bertengkar hebat, sampai noona nyaris mengusir Donghae dari apartemen,” jelas Hyukjae selanjutnya.

Aku meralatnya cepat, “Bukan nyaris, tapi aku memang mau mengusirnya keluar.” Kemudian aku bergumam, “Lagipula masalah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan anak kecil seperti kalian. Aratchi?”

“Eonni~~ aku sudah 18 tahun, Hyukjae malah sudah 24 tahun, jadi kami bukan anak kecil,” rajuk Jiyoo. Matanya beralih pada Donghae, “Donghae-ssi, kalau Haejin eonni tidak mau memberitahu, apa bisa kalau kau saja yang cerita?”

Buru-buru kuinjak kaki Donghae. “AUUW~~” Ia meringis dan mengambil beberapa jarak dariku, “Gadis ini sudah salah sangka.”

“Ng?” Jiyoo dan Hyukjae bereaksi bersamaan.

“Berani bicara lagi, kubuat kakimu itu tidak bisa dipakai, Lee Donghae,” ancamku.

Donghae ciut, mulutnya langsung terkunci sementara Jiyoo dan Hyukjae menatapku dengan pandangan tidak puas dan kesal. Mereka tetap memandangku begitu sampai aku harus bersusah payah menelan ludah. Anak-anak ini~~~

Aku menarik napas berat, “Baiklaaaaah, apa yang mau kalian tahu?”

“Semuanyaaaa,” ujar Jiyoo sambil tersenyum lebar. Hyukjae yang ada disampingnya juga mengangguk setuju.

“Hhh…,” tanganku meraih secangkir teh dingin dan menenggaknya, berusaha membasahi tenggorokanku yang kering. “Kalian tahu kan kalau kemarin kami pergi bersama?”

Hyukjae kembali menganggukkan kepalanya. “Lalu, apa yang terjadi selama kalian pergi?”

“Laki-laki ini,” kutunjuk Donghae menggunakan daguku yang lancip. “Bertemu dengan mantan pacarnya dan tebar pesona.”

Jiyoo terbelalak dan langsung menatap Donghae yang masih kelihatan gugup. “Donghae-ssi! Kau..”

“Tidak seperti itu~~”

“Ini pertama kalinya aku makan malam disini,” mataku berkeliling menyapu sekitar. Sebuah restoran Jepang dengan dekorasi tradisional sudah menyita seluruh perhatianku. Aku menyenggol lengannya, “Donghae-ya, apa kau sering makan di tempat ini?”

 

“Ani,” ujarnya. “Pertama kali. Kata temanku, lebih cocok kesini kalau bersama seseorang yang spesial.”

 

“Berarti aku ini spesial?”

 

Donghae tampak berpikir keras, membiarkanku menunggu jawabannya. Ia bergumam, “Tidak juga. Hanya saja, aku ingin coba sushi disini. Jadi kuajak saja kau.” Melihatku kesal, ia terkekeh. “Tentu saja kau ini spesial, Haejin-ah. Kenapa masih bertanya?”

 

Aku sedikit terkejut dengan jawaban terakhirnya. Kupalingkan wajahku sebentar untuk tersenyum. Sepertinya Lee Donghae yang ini adalah Lee Donghae yang benar.

 

Kami sedang menunggu pesanan saat tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Ah, menurutmu apa yang terjadi pada Jiyoo dan Hyukjae malam ini? Mereka bertengkar tidak ya?”

 

“Mm… kurasa tidak perlu cemas. *Chunsaboda Choi Jiyoo sudah mulai menyukai Hyukjae bodoh itu,” Donghae mengangkat bahunya santai. *chusaboda=malaikat

 

Aku mendelik kasar. “Chunsa- apa? Chunsaboda? Kau masih saja memanggilnya begitu?”

 

“Ahh~ jangan cemburu dulu, itu hanya panggilan khusus untuk Jiyoo-ssi,” kilahnya. Tapi kemudian ia tersenyum, “Kau mau tahu apa panggilanku untukmu?” Aku tidak menyahut dan hanya mendongak, “Jagiya..”

 

“Hhh…,” aku mendesah berat. “Standar..”

 

Donghae mengerutkan kening, “Lalu kau mau dipanggil apa? Love? Baby?”

 

“*Yeoshin, bagaimana?” godaku. *Yeoshin=dewi

 

“Kau ini tidak mau kalah dari Chunsaboda Jiyoo ya?” sungutnya. “Padahal aku lebih suka memanggilmu jagiya..”

 

“Ya sudah, terserah kau saja,” aku pura-pura kesal dan menutup wajahku dengan menu.

 

Telingaku bisa mendengar Donghae yang menghembuskan napas panjang. “Arasseo, naui yeoshin-nim.”

 

Aku menunjukkan wajahku dan tersenyum jahil. “Tapi jagiya juga boleh.”

 

“Gadis plin-plan,” omelnya.

 

Donghae membantuku memilihkan sushi yang ia sukai. Mungkin ia terlalu yakin kalau selera kami sama. Tapi diam-diam aku benar-benar merasa spesial. Bukankah ini berarti ia ingin aku tahu makanan apa saja yang jadi kesukaannya? Jadi suatu saat aku tidak perlu bertanya lagi apa yang ingin ia pesan disini.

 

“Donghae-ya..,” panggilku. Donghae mendongak sambil memasukkan sepotong sushi lagi ke dalam mulutnya. “Berapa jumlah mantan pacarmu?”

 

Ia sedikit tersedak dan buru-buru meraih cangkir teh di depannya. “Kenapa bertanya itu?”

 

“Kenapa tidak boleh?” tuntutku.

 

“Mm… tiga?” ujarnya setelah berpikir. “Yang serius itu tiga. Sisanya aku tidak tahu.”

 

Hatiku sedikit dongkol mendengarnya. Tiga yang serius, lalu yang tidak serius ada berapa? Dasar lelaki~ Tapi entah kenapa aku semakin ingin tahu tentangnya. Bagaimana Lee Donghae yang dulu, apa saja kesukaannya, apa yang ia benci, termasuk siapa saja gadis-gadis di sampingnya dulu.

 

Kutelan kembali kekesalanku. “Siapa yang paling kau ingat?”

 

“Ada seseorang. Namanya-“

 

“Lee Donghae?” suara lembut yang terdengar mengganggu itu memotong jawaban Donghae. Kami menoleh berbarengan. Seorang gadis berambut panjang dan memakai gaun selutut berwarna gading tampak berdiri anggun.

 

Donghae mengangguk lambat-lambat. “Kau.. apa kabar?”

 

“Ah, benar, Donghae-ssi ternyata. Aku baik. Kau juga tampak…,” ia melirikku sekilas, “…baik, sepertinya.”

 

“Begitulah. Ini pacarku, Lee Haejin,” Donghae menunjukku, aku hanya menundukkan kepala sedikit pada gadis ini.

 

“Pacar ya.. kau sudah punya pacar lagi sejak putus denganku? Aku jadi sedih,” ujarnya sok mendramatisir. Tapi kemudian ia melambaikan tangan ke arah lain, “Temanku sudah menunggu. Maaf sudah mengganggu kalian ya. Donghae-ya, annyeong.”

 

Bisa kulihat mata Donghae sama sekali tidak berpaling dari gadis sok manis itu. Ia menjawab lemah, seolah masih tak sadar. “Annyeong…”

 

Aku berdeham agak keras. “Mm… mantanmu? Itu yang tidak bisa kau lupakan?”

 

Donghae tergagap lalu mengibaskan tangannya di depan dada. “Ani, ani. Bukan. Dia itu hanya cinta masa lalu, Haejin-ah. Jangan marah.”

 

“Siapa yang bilang aku marah? Aku hanya bertanya kan? Kenapa panik?” dengusku. Sikap lelaki yang seperti ini semakin menunjukkan kalau kata-kataku benar.

 

“Kau cemburu padanya?” terkanya. Melihatku membuang muka, ia tertawa nyaring. “Ya~~ bukankah tadi aku sudah bilang kau adalah satu-satunya orang spesialku? Aku tidak pernah bertingkah bodoh selain untuk mendapatkanmu, Lee Haejin-ssi.”

 

“Teruslah merayu,” kuputar bola mataku. Donghae masih terkekeh melihat ekspresiku. Tapi aku percaya padanya. Saat ini aku percaya.

 

“Hhh… Jiyoo dan Hyukjae akan lembur malam ini,” aku mendesah setelah menutup flap ponsel di tanganku.

 

Donghae mengerling nakal, “Kalau begitu, malam ini aku bisa menginap kan?”

 

“Mwoya~~~? Otakmu itu benar-benar harus dicuci,” omelku.

 

Kami terus berjalan menuju apartemen, kali ini tidak menggunakan bis. Aku yang minta Donghae untuk pulang sambil jalan kaki saja. Malam ini bulan purnama, jadi tidak terlalu gelap dan menakutkan. Lelaki Mokpo ini malah berani menggenggam tanganku, mengurangi udara dingin yang membekukan tulang.

 

“Tanganmu lembut,” ujarnya tiba-tiba.

 

Aku tersenyum lalu mengeratkan genggamanku. “Sepertinya aku tidak pernah banyak bekerja keras.”

 

“Kau memang tidak boleh bekerja terlalu keras,” Donghae mengucapkannya tanpa menatapku jadi ia tidak melihatku yang sedang menunduk malu.

 

Tiba-tiba ia melepaskan tanganku dan merogoh saku mantelnya. Matanya terpaku pada pemandangan di depan, aku mengikuti arah pandangannya. Ada seorang gadis berambut panjang terurai tapi tampak berantakan.

 

“Sepertinya aku mengenal gadis itu..,” gumamku.

 

Tanpa mendengarkanku, Donghae berjalan cepat ke arah gadis itu, meninggalkanku sendirian di belakangnya. Aku terlalu terkejut saat Donghae menyuruh gadis itu naik ke punggungnya sampai aku tidak bisa bergerak atau bicara apapun.

 

“Haejin-ah, aku harus mengantar dia dulu. Tidak apa-apa kan?” tanyanya begitu ia berdiri di depanku.

 

Mataku melirik gadis itu, ia tampak baik-baik saja. Ia cuma sedikit pucat, kedinginan dan lemah. Baiklah, ia tidak baik-baik saja. Aku bertanya hati-hati, “Apa.. apa harus kau yang pergi?”

 

“Memangnya ada siapa lagi disini?” pertanyaan Donghae membuatku seperti orang bodoh. Memang tidak ada siapa-siapa disini, tapi aku kan juga butuh dia.

 

Aku menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat saat aku ingin melarangnya, jadi aku hanya bisa mengangguk lemah.

 

Donghae sempat tersenyum. “Aku akan menemuimu nanti di rumah.”

 

“Lee Donghae-ssi.. kau benar-benar jahat,” Jiyoo mengomel sambil mengusap-usap punggungku. Aku tidak menangis,. Justru anak inilah yang harus ditenangkan, Jiyoo mulai menangis saat bagian Donghae menggendong gadis itu.

Donghae diam agak lama sambil menatap Jiyoo yang sudah sesenggukan. “Jiyoo chunsabodanim, aku tidak bermaksud menyakiti Haejin. Saat itu.. aku tidak punya pilihan,” Ia menarik lengan Hyukjae, “Hyuk-ah, kalau kau ada dalam posisiku, apa yang akan kau lakukan?”

Hyukjae tampak berpikir. Semua orang menunggu jawabannya, terutama Jiyoo. Ia memandangi Hyukjae dengan tatapan penuh arti, seolah menebak-nebak apa yang akan ia pilih. Akhirnya Hyukjae bersuara, “Aku.. sepertinya aku akan mengajak pacarku ikut denganku.”

Aku mengangguk-angguk menyetujui jawaban Hyukjae bodoh ini. Itulah yang aku harapkan kemarin, Donghae mengajakku mengantar gadis itu. Setidaknya itu bisa membuatku lebih tenang daripada harus menunggu di rumah dengan pikiran yang bukan-bukan.

“Kenapa harus begitu? Aku kan hanya tidak ingin Haejin merasa kesal saat melihatku yang harus menggendong gadis itu?” kilah Donghae. Sepertinya tidak ada satu pun diantara Jiyoo atau Hyukjae yang berada di pihaknya.

“Mm… bukankah pacarku akan lebih sakit hati saat aku meninggalkannya sambil menggendong gadis lain?” Hyukjae melirik Jiyoo yang sibuk menyeka air mata dengan punggung tangannya.

Aku tersenyum penuh kemenangan, “Jawaban yang pintar, Hyukjae-ya..” Sepertinya ia tahu apa yang noona-nya ini rasakan semalam.

Donghae hanya diam tanpa bisa menyanggah atau menolak jawaban itu. Sepertinya ia sangat merasa bersalah padaku, apalagi saat melihat respon Jiyoo saat aku bercerita. Ditambah lagi jawaban sempurna dari Hyukjae. Tapi kemudian ia malah menangis. Kami bertiga terkejut.

“Donghae-ssi? Kenapa menangis?” Jiyoo menjadi yang pertama bertanya.

“Aku.. aku tidak tahu apa yang harus kulakukan semalam! Aku juga tidak sempat menelpon Hyukjae untuk bertanya! Jadi aku hanya melakukan apa yang kuanggap benar. Kenapa semuanya malah memarahiku?” ujarnya kesal. Suaranya serak dan parau karena air mata.

Hyukjae mengerutkan kening, “Kau sedang marah ya?”

“IYA!” tegasnya. Tapi tetap saja suaranya terdengar aneh. Donghae jongkok di pojok ruangan sambil menekuk lututnya. Badannya bergetar karena menangis.

“Jiyoo-ya, keluarlah bersama Hyukjae,” perintahku. Jiyoo mengangguk dan menggandeng Hyukjae keluar dapur. Aku berjalan ke arah Donghae dan duduk di depannya. Kubelai rambutnya, ia mendongak. “Kalau kau marah, kenapa menangis?”

“Molla! Air mataku keluar sendiri,” ujarnya. Aku menahan tawaku sekuat tenaga. Ia mendengus, “Jangan tertawa! Tidak lucu!!”

Aku tersenyum lalu kembali menatapnya. “Ara.. mianhae. Kenapa jadi kau yang kesal dan menangis, padahal aku lah yang sudah ditinggalkan begitu saja?”

“Aku kesal, tidak ada yang mengerti posisiku kemarin. Kau juga! Kenapa kau malah mau mengusirku? Padahal semalam…,” ucapannya terpotong, ia mengusap pipinya dengan lengan kemeja. “Padahal semalam aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”

Keningku berkerut, “Kenapa? Apa yang kau pikirkan?”

“Banyaaaak. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu waktu itu, aku tidak bisa menebak apa yang kau rasakan saat aku meninggalkanmu dan aku bahkan tidak bisa menjamin apa kau akan percaya pada janjiku saat aku bilang aku akan menemuimu di rumah,” ujarnya panjang-lebar.

Mataku menatapnya tak percaya. Begitukah? Itukah yang ia pikirkan semalam?

Aku kembali membelai rambutnya. “Kalau begitu kita sama,” Donghae mendongak dan alisnya terangkat. “Aku juga terus berpikir, apa yang ada dalam pikiranmu saat kau pergi bersama gadis itu, terutama apa yang akan kau lakukan kalau kau hanya berdua saja dengannya. Aku takut.. aku takut kau bisa melupakanku saat itu.”

“Tidak. Tidak akan pernah,” Donghae kembali mengusap pipinya yang basah.

Tanganku menyentuh pipi kirinya lembut, kuseka bekas air mata yang ada disana. “Jangan menangis. Maaf sudah membuatmu marah sampai kau menangis begini.”

“Ani, seharusnya aku bertanya dulu pada Hyukjae, apa yang seharusnya kulakukan malam itu,” ujarnya.

“Bodoh~ kalau kau menelpon Hyukjae dulu, bagaimana nasib gadis itu?” omelku. Tiba-tiba tanpa perintah, aku memeluknya. “Terima kasih untuk tetap memikirkanku semalam.”

Donghae diam dalam pelukanku sejenak. “Terima kasih juga sudah membuatku menangis.”

“Ng? Kau menyindirku?”

“Anieyo. Ini pertama kalinya aku menangis di depan gadis lain selain ibuku,” ujarnya tenang.

Aku melepaskan tubuhnya cepat dan mendengus, “Lalu Jiyoo kau anggap apa? Dia kan juga gadis~!”

“Tapi Jiyoo-ssi bukan gadisku,” Donghae tersenyum jahil. “Lee Haejin itu berbeda, dia itu gadisku saat ini dan selamanya.”

“Penyakit playboy-mu belum sembuh ya?”

Tangan kami bergandengan saat meninggalkan dapur. Tadinya aku ingin langsung pulang dan membantu Donghae membereskan barang-barangnya yang sudah kulempar keluar, tapi ia merengek untuk pamer pada Jiyoo dan Hyukjae kalau kami sudah tidak bertengkar lagi. Jadi kami mencari mereka dulu sebelum pulang.

“Mereka kemana ya?” gumam Donghae. “Jam istirahat mereka kan sudah habis, kenapa malah berkeliaran?”

Tiba-tiba mataku melihat ada mobil yang kukenal di luar Amore. “Donghae-ya, itu mobil Henry sunbaenim kan?”

“Wae? Kau mau melanjutkan acara selingkuhmu tadi pagi?” ucapnya merajuk.

“Aish~ bodoh! Bukan begitu, apa Jiyoo dan Hyukjae sedang ada di ruangan sunbaenim ya?” aku berpikir sendiri.

Donghae menemukan sesuatu yang membuatnya terpaku. Tangannya menunjuk pintu balkon yang sedikit terbuka, “Apa Jiyoo dan Hyukjae sedang ada di atas?”

Aku mengangkat bahu lalu mengerling, “Mau mengintip?” Donghae mengangguk semangat dan langsung berjinjit pelan sambil menaiki anak tangga yang menuju ke balkon lantai dua Amore.

Kami bersembunyi di balik pintu saat melihat Jiyoo dan Hyukjae berdiri berdampingan. Ada yang aneh disana, kenapa Henry juga ada disana?

“Tidak terdengar apa-apa~” ujar Donghae setengah berbisik.

“Ssstt.. jangan berisik,” telunjukku menempel ke bibir. Aku pasang telinga kuat-kuat untuk mendengar pembicaraan mereka. Kalau firasatku benar, berarti Jiyoo akan sangat bingung.

Henry berjalan dengan langkah berat saat harus mendekat ke arah Jiyoo dan Hyukjae. Jantungnya memberontak, seolah menolak melihat kebersamaan mereka. Dengan sudah payah, ia menelan ludah. “Jiyoo-ssi, aku harus bicara.”

“Bicara saja,” ucap Hyukjae dengan nada defensif.

Jiyoo mendelik ke arahnya, menandakan bahwa sikap Hyukjae sama sekali tidak sopan. “Ah, ne, sunbaenim. Silahkan.”

“Bisa berdua saja?” Henry melirik Hyukjae yang masih berdiri santai di samping Jiyoo. Ia bisa melihat Hyukjae hanya berdiri, tapi rasanya lelaki itu bisa menjadi pelindung Jiyoo kapan saja. Sikap protektif seorang lelaki pada gadisnya.

Hyukjae mendengus. “Bukankah bisa langsung bicara seperti ini? Kenapa kau sangat merepotkan?”

“Hyukjae-ya, ini atasan kita. Sopanlah~” tegur Jiyoo. Ia memandang Henry dengan jantung berdegup cepat. Walaupun sudah ada Hyukjae yang sejak kemarin bisa membuatnya tenang, tapi pengaruh Henry padanya tetap tidak bisa hilang.

“Jwoisonghaeyo,” ujar Hyukjae datar.

Tangan Henry mengepal saat melihat Jiyoo yang bisa memanggil Hyukjae dengan santai, seolah Jiyoo tidak pernah berbuat begitu pada lelaki lain. Henry sadar sepenuhnya, ia sedang cemburu. “Geurae, aku bicara disini,” Ia menarik napas, “Jiyoo-ssi, aku mencintaimu.”

-TBC-

====================

*celingak-celinguk* Readers~ annyeong haseyo. *deep bow*

Maaf atas keterlambatan apdet Amore Café, kayanya uda banyak yang tau ya, lappy author alias si hyukie kemaren2 sempet sakit. T^T

Ehh, pas sembuh malah uda masuk sekolah. Pas sekolah juga waktunya uda kesita di sekolah mulu, kan saia pulang sore. Jadi ga ada waktu. ><

Makanya, maaf sebesar2nyaaaa~~~~ *super bow*

 

 

44 thoughts on “Amore Cafe 5th cup

  1. yuhuuu~~~ ayem kamiiiiing..

    ahahah..
    bang bonge nangis..
    cup cup cup..

    kalo bang bonge beneran diusir.. aye siap nampung kok.. hihii..

  2. Lucu deh ngebyngin hae jongkok nangz d pojokn, kea bkn hae,
    Tp wkt hae blng g tw knp air mtax keluar, lgsg brpkir ‘oh, ini bener hae’ ^^

    Part ini hae part,
    Part 6 ntar jihyuk+henry kn? ^^

    • Hehehe~ maaf lagi ya gara2 imejnya hae kelewat nyata. XD
      Abis mendadak inget gelar raja aer mata Donghae, jadi diselipin dikit mewek2annya.

      Iyaaaa~~ betuuul. Part selanjutnya Jihyuk+Henry, mungkin bakal jadi the last. Doain yaa~ 🙂
      Makasihh buat dukungannya di Amore Cafe~ *bow*

  3. too much romance…
    aaaaaarrrrrgggghhhh… *dies*
    *ce yang lagi agak gag suka roman*

    ituuuuuuu,,, henry!!!!
    kamu ngapain????
    alamat henry ntar dicincang ama unyuk… XD

    • Kekeke~ ga tau kenapa kalo JinHae couple kayanya lebih cocok dibikin roman onn. *haejin lompat2*

      Bang henry lagi memperjuangkan cinta buat Jiyoo. XD
      Ga bakal dicincang, paling dijitakin trus dipulangin ke amrik.

  4. ayo lanjut..lanjut..!! penasaran ntar si henry kira2 di tonjok ma kunyuk gak tuh bilang cinta ke ji yoo di depan dia wkwkwkwkw

  5. wah ci mochi nyari gara-gara nie….ayo nyuk hajar aja ….*kasihan jga ci tapi….sini-sini q peluk…

    mas ikan cengeng bener deh gitu aj nangis….
    *hwa..hwa ngikut nangis tapi dipeluk nyuk wkwk…

  6. seru! ayo onn cepat dilanjutkan~ *maaf nyuruh* hehe^^v
    yaaah next part jangan terakhir dong onn, seru abisnya! aku suka bgt ff romance kaya gini hehehe~

  7. Akhirx d post jg ni ff,.
    Henry suka jiyoo??ga bsa d percya…
    Kekeke..^^v
    Donge..malu ah..masa gt aja nangs..
    Bner2 king of tears..xD
    lanjutanx jgn kelamaan y…hwaiting..

    • Dong-ah~~~~ 😀
      hehh, apa maskudnya itu ga percaya kalo henry naksir jiyoo? Itu nyata~ XD

      Hehehe.. kan donge hobi utamanya mewek, jadi biar lebih nyata. *disambit kulkas*
      Hwaiting~! Gomawoooo~ 🙂

  8. yaah gak bakal geje kok onn!ff onnie kan selalu bgs*maksa biar dilanjutin* hehehe
    soalnya aku suka bgt ff onnie,kalo ini tamat nanti aku bc apa?*lebay* #abaikan
    hehhehe 🙂

  9. Jd cewe itu tuh mantan nya donghae? Kenapa? Sakit? Ya ampun hyuk emg lebih mengerti perasaan wanitaaaaaa~ ya ampun henry baru nembak sekarang lah TELAT -_-

  10. Hihihi . . . . . pasangan yg saNgat anEh,,,
    Wkwkwk . . . lee donghae naNgis,, #dsr ikaN cEngeng. 🙂
    OMO ..!!! Ap yg kau lakukn henry lau …?? bgimN reaksinya Hyuk ..?? smga sja jiyoo g nerima henry,, bisa” hyuk bunuh diri kLu henry ditrima,,
    Next chap !

  11. Uwoooo akhirnya henry menyatakan cintanya juga .
    Penasaran sama responnya jiyoo .
    bakalan diterima apa ditolak ya .
    Bagaimana dengan nasib eunhyuk ?

  12. Finalllllllllllllllyyyyyyyyyyyyyyy, Lee Hyukjae is on the move!!!
    Ayo, Hyukjae, jangan mau kalah ama abang henry!!
    Buktikan kalo kamu sangat mencintai Choi Jiyoo!! *Bawa Banner JiHyuk

  13. jeng jeng jeng…..supwer lucu yg ini..hx krna itu hihihihi….donghae di usirr
    kachiiianngg…
    ah untglh mrk baikn…mm tgl part trakhr..pilih siapa y yoo itu..pasti hyuk kaaaasnnn hhhhahaha jelas jelas..

Leave a reply to Damai GameKyuminnie Cancel reply